Ketika "Millenials" Jadi Politisi


[PORTAL-ISLAM.ID]  Peneliti sosial mengelompokkan generasi yang lahir antara tahun 1980-2000 sebagai generasi millennial. Jadi bisa dikatakan generasi millennial adalah generasi muda yang saat ini berusia antara 15–34 tahun.

Dengan demikian, generasi millenial kini telah dan akan masuk ke dunia kerja, dalam berbagai bentuk jenis pekerjaan. Dunia kerja sudah mempersiapkan berbagai bentuk perubahan untuk menyesuaikan dengan perkembangan sosial. Karena bagaimanapun, Generasi millenial-lah yang akan menjadi pekerja, pengambil keputusan, hingga konsumen atau target pasar nantinya.

Dalam dunia politik, fenomena yang terjadi saat ini malah sebaliknya. Usia dianggap sebagai sebuah tolak ukur kemapanan seseorang untuk berpolitik. Lihat saja demografi politisi di Indonesia saat ini, yang didominasi oleh generasi sebelum millenials, atau generasi X.

Jauh sebelum generasi X, tepatnya pada masa kebangkitan nasional dan perjuangan kemerdekaan, ledakan semangat pemuda kala itu seperti tak terbendung. Bisa dikatakan generasi saat itu punya mimpi yang sama, yaitu untuk merdeka.

Nah, bagaimana dengan generasi millenial? Untuk melihat bagaimana masa depan politik Indonesia saat nanti diisi oleh generasi millenial, perlu diketahui bagaimana karakteristik generasi millenial.

Berikut karakteristik Millenials :

Narsis dan mementingkan branding

Pada 2013 Majalah TIME menerbitkan sebuah edisi khusus millenials, dengan tajuk “Me Me Me Generation” dengan cover seorang gadis sedang ber-selfie masih kerap menjadi bahan perbincangan dan diskusi.

TIME menyebutkan bahwa generasi milenial tumbuh ke arah yang lebih buruk. Mereka narsis, penggila gadget, egois, dan manja. Berbagai ‘fakta negatif’ mengenai generasi millennial pun diungkapkan oleh majalah ini, antara lain, perkembangan yang mereka yang terhambat.

Mementingkan diri sendiri, serakah, mau menang sendiri, dan ingin diperhatikan, itulah anggapan mengenai generasi millenial yang kemudian dirangkum dalam satu definisi: narsis. Apakah kapkan fakta sifat narsis, mencintai diri sendiri, atau sifat-sifat serupa membawa efek negatif?

Fenomena narsisme sudah dilakukan oleh banyak politisi saat ini. Sebagai contoh pemanfaatan media sosial untuk membangun citra. Banyak politisi menggunakan medsos untuk menyebarkan isu-isu politik atau hanya sekedar mengunggah kegiatan keseharian. Hal ini bertujuan jelas, yakni untuk menarik simpati khalayak, khususnya millenials.

Bahkan kehidupan pribadi politisi juga acap kali dijadikan sebagai strategi membangun citra. Postingan Walikota Ridwan Kamil ‘Gara-gara Istri Dilirik Afgan’ di Instagram, menuai berbagai reaksi. RK memposting sebuah foto yang terlihat Afgan melirik Atalia istrinya sambil mengacungkan jempol. Secara kasat mata sudah bisa dilihat bahwa postingan tersebut bukanlah foto asli, melainkan sebuah editan.

Media sosial bisa jadi berkontribusi pada `kenarsisan`anak millennial. Generasi X (kelahiran 70-an dan 80-an) dan generasi baby boomers (kelahiran 60-an), akan merespon bahwan hal tersebut tidak penting bagi publik. Namun tidak dengan generasi Y atau millenials yang menganggap itu lucu dan humanis. Begitu pula dengan video Presiden Jokowi beradu panco dengan anaknya, Kaesang Pangarep. Generasi millenial akan menganggap hal tersebut menarik dan tidak ada kaitannya dengan politik.

Melalui media seperti Instagram, orang-orang memiliki kesempatan menjadi pusat perhatian, baik dari pencapaian, penampilan, ataupun sensasi. Ini seringkali memicu rasa tidak mau kalah, sehingga anak-anak generasi millennial berlomba-lomba memamerkan semua sisi baik kehidupan mereka.

Millenial juga memiliki Social media pressure artinya kesempurnaan diri di media sosial menjadi nilai penting, itu sebabnya millennial cenderung mengalami stres apabila mendapat cercaan dan komentar negatif.

Millennial cenderung tidak loyal namun bekerja efektif.

Hasil riset dari Sociolab, diperkirakan pada tahun 2025 mendatang, millennial akan menduduki porsi tenaga kerja di seluruh dunia sebanyak 75 persen. Millennials cenderung meminta gaji tinggi, meminta jam kerja fleksibel, dan meminta promosi dalam waktu setahun.

Mereka juga tidak loyal terhadap suatu pekerjaan atau perusahaan, namun lebih loyal terhadap merek. Millennial biasanya hanya bertahan di sebuah pekerjaan kurang dari tiga tahun. Kaum millennial hidup di era informasi yang menjadikan mereka tumbuh cerdas, tak sedikit perusahaan yang mengalami kenaikan pendapatan karena memperkerjakan millennial.

Dalam dunia politik, tidak menutup kemungkinan bahwa millenials akan mengalami banyak hambatan. Jika tidak bisa menyesuaikan diri, tentu akan menghambat karir. Apalagi dunia politik sangatlah kompleks, tidak seperti bekerja pada sebuah perusahaan.

Namun demikian, efektivitas millenial dalam bekerja dapat memangkas proses lobbying yang relatif lama. Atau bisa saja proses politik masa depan tidak akam berbelit-belit dan berganti menjadi politik praktis.

Millennial lebih percaya User Generated Content (UGC) daripada informasi searah.

Bisa dibilang millennial tidak percaya lagi kepada distribusi informasi yang bersifat satu arah. Mereka lebih percaya kepada user generated content (UGC) atau konten dan informasi yang dibuat oleh perorangan.

Mereka tidak terlalu percaya pada perusahaan besar dan iklan sebab lebih mementingkan pengalaman pribadi ketimbang iklan atau review konvensional. Dalam hal pola konsumsi, banyak dari mereka memutuskan untuk membeli produk setelah melihat review atau testimoni yang dilakukan oleh orang lain di Internet. Mereka juga tak segan-segan membagikan pengalaman buruk mereka terhadap suatu merek.

Dengan demikian, millenials lebih cenderung untuk ‘mencari’ sendiri informasi daripada ‘mendapatkan’ informasi. Hal ini dapat berpengaruh baik terhadap pola evaluasi kerja, dimana pejabat dan politisi saat ini lebih mementingkan nama besar partai politik misalnya.

Contohnya saja partai Golkar dan PDI-P. ICW pernah merilis data partai yang terlibat korupsi sejak tahun 2002 hinga 2014. Partai PDI-P dan Golkar berada pada posisi pertama dan kedua, dengan total 270 kasus korupsi. Ironisnya, kedua partai tersebut malah mendapatkan suara terbanyak pada pemilu 2014. Artinya, pemilih saat itu masih memperhatikan nama besar partai. Berulangkali partai besar terlibat korupsi, namun angka keterpilihannya masih tinggi.Hal berbeda mungkin akan terjadi jika generasi millenial mengisi mayoritas politisi dan mayoritas pemilih.

Millenials juga memiliki hasrat untuk selalu menjadi yang terdepan ketika sudah berkaitan dengan teknologi. Gadget yang digunakan menentukan citra di mata orang lain. Selain it millenials cenderung melakukan transaksi secara cashless. Artinya, dimasa yang akan datang segala transaksi akan sangat canggih dan praktis.

Bagaimana dengan penyakit sosial yakni korupsi yang dapat menjangkit siapa saja termasuk politisi? Korupsi adalah bahaya laten, yang bisa terjadi kepada negara dengan sistem paling bersih sekalipun. Millenials dapat merancang sistem yang lebih transparan, di mana aliran uang negara dapat dipantau dengan jelas. Jika sudah banyak orang yang menggunakan sistem cashless, tentu suap dan gratifikasi bisa dicegah. Semboyan anti-pungli dan suap bisa saja terealisasi, tidak seperti sekarang.

Namun demikian, kemapanan millenials dalam menggunakan dalam menggunakan teknologi bisa pula menjadi cara baru dalam melakukan korupsi. Bisa saja bentuk korupsi di masa depan akan lebih canggih dan bersifat siber. Bentuk suap akan lebih praktis dan bisa saja tidak berbentuk uang. Karena kecenderungan korupsi dan tidak pernah puas adalah sifat alami manusia.

Perkembangan politik tidak stagnan dan akan berkembang mengikuti zaman. Millenials mungkin akan menguasai dunia politik beberapa tahun kemudian. Ketika generasi tersebut memegang posisi pembuat kebijakan, tentu pada saat itu harus menyesuaikan pula dengan generasi berikutnya, entah apalagi sebutan mereka nanti.

Penulis: Ahmad Mustain
Baca juga :