Priyamvada Gopal: Derita Rohingya, Negara-Negara Besar Harus Bersikap


Oleh: Priyamvada Gopal*
(Pengajar di Universitas Cambridge)

Untuk standar kawasan yang biasa menyaksikan kekerasan xenophobia migrasi paksa dan pengusiran, derita masyarakat Rohingya di Myanmar ini masih jauh lebih buruk.

Ada masyarakat yang telah tinggal selama bergenerasi atas wilayah yang kini menjadi wilayah perbatasan Myanmar dan Bangladesh, keduanya terbagi dalam wilayah nasional namun memiliki keterikatan sejarah.

Karena itu, masyarakat Rohingya diperlakukan oleh rejim yang memerintah sebagai bukan warga negara melalui serangkaian tindakan militer dan perlakuan diskriminatif. Mereka dipaksa keluar dari Myanmar atau juga tidak dipaksa mendekam dalam kamp-kamp yang menyedihkan, jauh dari fasilitas dan standar kesehatan, serta minimnya akses pendidikan dan kesehatan bagi mereka.

Ada memang upaya relokasi, namun langkah ini dikecam Human Right Watch sebagai “kejam dan tidak mudah dilakukan” dengan merelokasi mereka ke Thengar Char, wilayah pantai miskin yang sering dilanda banjir.

Rohingya, yang eksistensi mereka dianggap tidak ada oleh negara Myanmar telah mencoba mencari perlindungan kendati ditolak di beberapa negara Asia setelah melalui perjalanan laut yang berbahaya. Banyak diantara mereka mati dalam perjalanan.

Para pemimpin di negara-negara yang dihinggapi Islamophobia menjadi faktor berikutnya semakin menderitanya mereka. Hanya sedikit pengungsi Rohingya yang diakomodasi di India, misalnya.



Genosida Perlahan

Laporan PBB yang dirilis bulan lalu, menjelaskan adanya “kekejaman yang terus berlanjut” terhadap warga Rohingya, khususnya terhadap anak-anak.

Seluruh wilayah tempat tinggal penduduk Rohingya telah dibakar, sementara perempuan mereka diperkosa pasukan keamanan maupun milisi sipil lainnya.

Rohingya telah menjadi sasaran pembantaian, termasuk pembunuhan terhadap anak-anak. Kebebasan bergerak mereka dibatasi dan menderita kekurangan gizi.

Mereka menjadi subyek kebijakan draconian yang dimaksudkan untuk memperkecil jumlah mereka. Kata 'persekusi' sepenuhnya tidak memadai untuk menggambarkan kondisi penduduk yang secara terang-terangan dijadikan target pembasmian sistematik dari pemerintah Myanmar.

Sementara Uskup Desmond Tutu menyebut situasi di Rohingya sebagai “genosida perlahan”, Pusat Simon-Skjodt untuk Pencegah Genosida memperingatkan bahwa “banyak hal untuk disebut genosida telah terjadi di wilayah ini”, namun para aktor internasional tegas menolak penggunaan istilah ini karena hanya akan memicu berlakunya Konvensi Internasional untuk Hukuman dan Pencegahan Kejahatan Genosida.

Maka adil untuk mengatakan kepada dunia, yang melihat adanya seorang perempuan cantik (Aung San Suu Kyi -red) yang pernah dipaksa mendekam dalam tahanan rumah selama bertahun-tahun di negara itu untuk segera memalingkan pandangan atas persekusi sistematik yang tengah terjadi dan mencegah tindakan aksi berdarah tersebut terus berlangsung.

Ya, Aung San Suu Kyi kini adalah seorang pemimpin sipil yang masih tetap bungkam atas kondisi yang semakin memburuk atau jauh lebih buruk lagi turut secara resmi membantah adanya pembantaian tersebut dengan mengkritik banyak orang hanya berbicara tentang hal yang negatif saja.

Kami dengan tegas mengecam mereka yang membantah fakta genosida Rohingya tersebut, apalagi atas pihak yang berkuasa namun menolak adanya fakta pembantaian etnik yang terus berlangsung dengan stigmatisasi dan pemberlakuan hukum yang merendahkan derajat manusia. Orang semacam ini lebih pantas disalahkan.

Tidak ada agama yang memperbolehkan kekerasan dalam ajarannya namun disana justru kekerasan tersebut dikobarkan oleh para pendeta Budha, sehingga tampak melanggar prinsip anti kekerasan yang diyakininya dalam berhubungan dengan orang lain.

Ashin Waratu, pendeta Budha penuh kebencian yang terus menerus mengobarkan serangan atas Rohingya dapat dimasukkan sebagai salah satu teroris besar di dunia.

Kebijakan India yang Pragmatis

Bagaimana dengan tanah kelahiran Budha? India adalah salah satu negara besar di Asia Selatan, kritis terhadap junta militer Myanmar di masa lalu, namun kini lebih bersikap pragmatis dalam berhubungan dengan mereka. India bahkan termasuk negara yang memasok peralatan senjata ke negara tersebut.

India tampaknya sedang melirik cadangan minyak dan gas di Myanmar serta memperluas pasarnya, dan kebijakannya yang lunak terhadap negara itu ditengarai sebagai upaya mengimbangi semakin meningkatnya pengaruh China di kawasan tersebut, negara yang memang sama sekali tidak peduli dengan HAM.

Dua negara ini terlibat dalam persaingan sumber alam dan pasar sementara India mencoba menandingi militerisasi China di laut Hindia. Ada alasan untuk khawatir bahwa persaingan regional dan global mendorong bungkamnya mereka atas nasib Rohingya.

India telah menyatakan bahwa masalah tersebut menjadi urusan internal Myanmar, langkah mudah untuk mencegah pelibatan internasional.

Dengan mengesampingkan perdebatan apakah ini masalah internal di era global, ada satu pandangan penting secara kesejarahan yang tidak dapat diabaikan India. Stigamtisasi dan penolakan terhadap Rohingya dan upaya mereka untuk mengusir warga Rohingya ke anak benua India akan mendorong anti rasisme India -yakni sikap rasisme terhadap mereka yang dianggap sebagai keturunan India. Dianggap dengan pengertian rasis sebagai etnik Bengali yang berkulit gelap, Rohingya secara salah dianggap sebagai imigran dari Bengali Timur sebelum kemerdekaan yang seharusnya dikembalikan kesana.

Namun yang terang adalah fakta bahwa Rohingya -istilah yang digunakan Myanmar sebagai bagian upaya mereka menolak legitimasinya- adalah minoritas Muslim yang ditindas. Bagi rejim India sekarang, dengan dukungan basis Hindu, tidak ada manfaatnya bersikap vokal membela pemeluk Islam.

Ini tentunya kontras dengan seruan vokal mereka untuk melindungi minoritas Hindu yang dijadikan target oleh Islamis atau mayoritas Muslim di Bangladesh atau juga bermanuver secara politik untuk menawarkan kewarganegaraan India kepada minoritas Pakistan.

Namun, seiring bahaya ISIS yang sedang melirik pendirian basis di Asia Selatan yang semakin meningkat, maka isu ini kemudian menjadi berita media dengan seruan mereka untuk lebih memperhatikan kondisi Rohingya dengan alasan keamanan.

Oktober lalu, para gerilyawan yang dituduhkan kepada Rohingya menewaskan 9 polisi perbatasan, tindakan yang mendorong aksi lebih brutal rejim Myanmar atas penduduk Rohingya dengan alasan operasi anti pemberontakan.

Bahaya radikalisasi Islamis kini sedang mengintip, maka mau tidak mau, India harus lebih memperhatikan skandal pembantaian etnik ini.

Jika India tetap mempertahankan komitmen demokrasi dan pluralisme, India tidak boleh diam atas apa yang terjadi Myanmar Barat atau hanya semata melihatnya dalam kacamata strategis. Masyarakat yang tidak punya kewarganegaraan dan terkatung-katung seperti Rohingya lebih berhak atas klaim moral ketimbang lainnya.

Ketimbang hanya melihat sebagai tindakan militer yang brutal, India dan negara-negara Asia Selatan lainnya seharusnya tidak ragu mengutuk aksi berdarah dan pembasmian atas suatu kelompok masyarakat secara keseluruhan.

Diatas itu semua bagi India, bersama dengan pemain internasional lainnya untuk terus berinteraksi dengan Suu Kyi serta keras menekannya untuk menjalankan tugas utamanya: membawa rakyat Myanmar berjalan atas demokrasi yang sejati dan mengembalikan Budha pada nilainya yang sejati, dengan hidup berdampaingan secara damai dengan umat manusia lainnya.

Dalam penderitaan rakyat Rohingya ada perang besar di era ini: yakni antara pasukan bersenjata yang dibangun dari kebencian populis dengan kelompok yang hendak hidup dalam demokrasi sejati.***

___
*Priyamvada Gopal teaches in the Faculty of English at Cambridge University.

She is the author of two books, Literary Radicalism in India: Gender, Nation and the Transition to Independence (2005) and The Indian Novel in English (2009).

She is currently working on a book called Insurgent Empire: Anti-Colonialism in the Making of Britain.

Sumber: Aljazeera (terjemahan)

Baca juga :