NU Kok Berubah Jadi FPI Ehh…FPM?


NU Kok Berubah Jadi FPI Eh…FPM?

Oleh: Choirul Anam
(Dewan Kurator Museum Nahdlatul Ulama)

JUDUL di atas kepeleset karena diganggu cucu saya yang mengikuti FDS (Five Day School) tapi juga tetap belajar di Madin (Madrasah Diniyah). Jadi, bukan FPI yang dimaksud tapi FPM (Front Pembela Madin). Ini gara-gara saya baca viral di medsos, Ketua PWNU KH Hasan Mutawakkil bersama beberapa kiai Jawa Timur berencana akan melakukan demo besar-besaran di depan Istana Negara untuk menolak FDS dan Permendikbud No.23/2017. Mengapa? Sebab, demo kecil-kecilan yang dilakukan NU dan PKB di Pasuruan, Lumajang, Semarang dan Purwokerto Jawa Tengah tidak ngefek alias tidak digubris.

Ketua Umum PKB Abdul Muhaimin Iskandar pun, dengan garangnya akan menarik dukungan terhadap Presiden Jokowi dalam Pilpres 2019, jika FDS tetap dipaksakan berlakunya. Bahkan NU Online, Rabu (9/8), mengutip pernyataan wakil ketua Lakpesdan PBNU, Muzaki Wahid, dengan judul bernada ancaman: Presiden Jokowi dan Mendikbud Muhadjir akan dicatat dalam sejarah sebagai “Pembunuh Madin”. Lebih miris lagi PWNU Jatim akan mufaraqah (berpisah) dengan pemerintah jika tuntutannya tidak dipenuhi. Wow…keren…!

Dalam sejarahnya, NU pernah bersikap super keras ketika imperialis Kerajaan Protestan Belanda ingin kembali menjajah Indonesia. Tidak ada kompromi, pada 22 Oktober 1945, NU mengumpulkan seluruh konsul se- Jawa dan Madura mengeluarkan Resolusi Jihad fi Sabilillah. Apakah FDS sudah segawat itu? Apakah Mendikbud Muhadjir Efendi sudah sekelas Snouck Hurgronje atau Van Der Plas? Sehingga perlu distigma sebagai “Pembunuh Madin”? Mendikbud Muhadjir yang saya kenal adalah seorang santri tulen, mustahil punya niat mematikan Madin.

Untuk mengetahui realitas lapangan, saya lalu bertanya cucu-ku tadi. Kamu sekolah berapa hari dalam sepekan? “Lima hari, Senin sampai Jum’at. Tapi pulang agak sore, pukul 16.00. Tapi saya masih tetap ikut belajar di Madin sampai setelah maghrib,” kata cucu saya. Apa enggak capek? “Enggak Kung, malah enak, hari Sabtu saya bisa ikut latihan bela diri dan les musik. Hari Ahad jalan-jalan sama ayah dan bunda,” kata sang cucu dengan ceria.

Saya sendiri, dibantu beberapa kawan yang melek tujuan utama bernegara, tujuan utama Indonesia merdeka, salah satunya adalah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, sejak tahun 1990 mendirikan sekolah mulai dari PAUD, TK, Madin, SD, SMP, SMA, MTs, MA dst. Dan ketika ada FDS, semua stakeholder berkumpul lalu berembuk untuk melakukan pengaturan lebih baik lagi. Tidak ada masalah, aman-aman saja. Kenapa mesti takut? Apa yang ditakuti dari FDS? Toh…di kalangan NU justru dikenal adagium FDNS (Full Day and Night School), bukan cuma FDS bro…!

Kemudian saya beralih bertanya pada keponakan yang sekolah di desa. Berapa hari kamu sekolah dalam sepekan? “Enam hari paman, Senin sampai Sabtu, pulang sekolah pukul 12.00 atau 13.00, lalu bantu bapak-ibu cari makanan ternak atau yang lain,” katanya. Sore hari? “Belajar agama di Madin,” katanya lagi. Lalu bapaknya menimpali, “ya mohon dimaklumi karena sekolahannya miskin fasilitas.”

Karena belum puas, saya lantas tanya pengurus NU yang saya anggap cukup cerdas. Apa yang dikuatirkan NU terhadap pelaksanaan FDS? “Lho…banyak, ada sembilan aspek,” jawabnya sambil nerocos memaparkan sembilan aspek mulai dari aspek akademis, Sarpras (sarana-prasarana), ekonomi, keamanan, sosial, kompetensi akademik, mental spiritual, keharmonisan keluarga dan aspek sistem pendidikan itu sendiri. Dari sembilan aspek yang didalihkan untuk menolak FDS itu, menurut hemat saya, tidak ada satupun yang esensial. Semuanya bertumpu pada masalah teknis dan minimnya Sarpras pendidikan yang, bila segera dipenuhi, akan bisa terselesaikan dengan sendirinya.

Persoalan pokoknya, dengan demikian, bukan terletak pada kebijakan FDS atau Permendikbud No. 23 Tahun 2017 yang, ternyata juga tidak ada paksaan dalam pelaksanaannya. Bahkan anak didik juga tidak perlu pulang larut sore. Permasalahan sesungguhnya, justru pada aspek pemenuhan fasilitas sekolah baik menyangkut ketersediaan dan kesiapan guru maupun Sarpras. Inilah persoalan inti yang, seharusnya, diperjuangkan NU yang kini mulai kesengsem mengikuti pola gerakan PKB. Sejauh mana komitmen pemerintah sebagai alat negara mem-fasilitasi dunia pendidikan? Meski sudah ada BOS, BOPDA, BOS MADIN, BOS SLTA dan Bantuan Sarana Penunjang SMK, pemerintah wajib memberikan dan meningkatkan fasilitas secara merata (tanpa pandang bulu) kepada seluruh sekolah (negeri maupun swasta), sehingga tidak ada lagi sekolah yang surplus dana tapi sebagian besar lainnya justru miskin fasilitas.

Itulah akar masalah dunia pendidikan kita yang mestinya dikritisi NU secara terus menerus. Karena faktanya, di Jawa Timur saja, masih banyak anak orang miskin tidak sekolah. Masih banyak orang tua menanggung beban berat biaya sekolah anaknya. Masih banyak anak yang putus sekolah karena harus membantu orang tuanya mencari nafkah. Banyak sekali gedung sekolah yang rusak (bahkan nyaris ambruk) karena tidak ada biaya untuk memperbaikinya. Lalu kemana APBN dan APBD yang triliunan itu dibelanjakan?

Pendidikan gratis didengung-dengungkan para pejabat pemerintah, kenyataan di lapangan justru sebaliknya. Jika hari ini kita akan memperingati 72 tahun Indonesia merdeka, rakyat di bawah hanya bisa mengelus dada sambil meratapi besarnya biaya sekolah anaknya. Rakyat kebanyakan sesungguhnya menagih janji kapan terwujudnya tujuan utama Indonesia merdeka, kapan terlaksananya tujuan utama bernegara seperti yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan berpartisipasi dalam ketertiban dunia.

Contoh di Jawa Timur sendiri, sudah terdengar lama pernyataan para pemimpin bahwa pendidikan di wilayah paling timur Pulau Jawa ini, diselenggarakan secara seksama dan gratis mulai dari SD sampai SMA. Benarkah? Ternyata, tong kosong nyaring bunyinya. APBD Provinsi Jawa Timur yang berkekuatan 23 T, hanya sebagian kecil yang disalurkan untuk pendidikan. Tahun 2015 APBD Jatim hanya mengucurkan 2,2% untuk pendidikan, tahun 2016 menurun lagi cuma 1,7%  dan tahun 2017 bisa jadi melorot lebih rendah lagi.

Persoalan keseriusan pemerintah menyediakan anggaran untuk pendidikan inilah yang, seharusnya, dikontrol ketat oleh NU Jatim. Kenapa Gubernur Soekarwo hanya mengalokasikan belanja pendidikan sekecil itu? Kenapa politisi PKB di DPRD Jatim tidak memperjuangkan anggaran pendidikan yang layak dan cukup? Jangan malah sibuk mengajak NU demo FDS, sementara oknum legislatornya mencari setoran suap ke dinas-dinas hingga ditangkap KPK.

Banyak kawan NU yang prihatin dan mengirim pesan pendek yang intinya, menyayangkan sikap keras NU menolak FDS yang terkesan sangat politis. Mereka bahkan menganggap sikap boikot yang disertai ancaman dan demo-demo itu sudah out of control. “Sudah di luar karakter NU,” tulis mereka. Lalu saya pura-pura tanya kenapa, karena sebab apa kok akhir-akhir ini gerak dan sikap NU seperti kehilangan substansi?

Di luar dugaan, mereka serempak menjawab, “Itulah buah muktamar Jombang (Muktamar NU ke 33 di Jombang, Agustus 2015–red). Muhaimin Isandar berhasil menjadikan NU sebagai sayap PKB. Jangan-jangan sejatinya Muhaimin yang ingin jadi Mendikbud.”

Sebagai politisi sah- sah saja ingin jadi menteri. Apa lagi dia sudah berkali-kali ketemu presiden, ‘kan tinggal minta jatah saja, kata saya. “Ya memang, tapi kalau jadi menteri lagi jangan seperti dulu, ada kasus bingkisan lebaran ditaruh dalam kardus durian. Untung saja KPK sekarang gampang lupa,” jawab mereka terkekeh-kekeh. Benarkah jawaban mereka? Wallahu’alam bisshawab. (*)

Sumber: http://duta.co/nu-kok-berubah-jadi-fpi-eh-fpm/


Baca juga :