Lama Berkuasa, Kenapa Erdogan Tidak Melarang Maksiat dan Menghapus Sekulerisme?


[PORTAL-ISLAM.ID] Meskipun telah berkuasa kuat (2003-2014 sebagai Perdana Menteri, dan 2014-sekarang sebagai Presiden), kenapa Erdogan tidak melarang sejumlah perilaku menyimpang yang melanggar adab bangsa Turki? Seperti minuman keras dan (maaf) pelacuran. Serta sejumlah perbuatan yang merendahkan derajat manusia, terutama derajat wanita. Yang menganggap wanita seperti barang dagangan yang bisa dijual dan dibeli sesuka hati.

Pertanyaan tersebut, kami yakin sering terlintas di benak banyak orang, bahkan ada yang memanfaatkannya sebagai bahan fitnah dan kampanye negatif terhadap Turki dan pemerintahannya. Padahal sebagaimana kita ketahui, Turki telah banyak melakukan perubahan positif ke arah yang lebih Islami.

Kali ini kami akan mencoba menanggapi pertanyaan tersebut. Jawabannya kami nukil dari epidose khusus “100 Tokoh Islam Pembawa Perubahan” versi terjemahan yang sudah terdapat di Youtube. Video dan buku aslinya berjudul “Mi’ah Min ‘Udhama’ Ummah Al-Islam Ghayyaru Majra At-Tarikh” karya sejarawan Palestina, Jihad At-Turbani.

Pertanyaan ini bisa dijawab dengan dua poin penting. Poin pertama lewat pandangan hukum syar’i. Dan poin kedua lewat pandangan siasat politik.

(1) Pandangan Syariah

Adapun dalam pandangan Syariah, perlu dipahami bahwa rakyat Turki pernah hidup di bawah tekanan keras pemimpin diktator sekuler. Dan mereka (rakyat Turki) ditekan dengan kekuatan senjata dan intimidasi selama hampir 100 tahun untuk hidup dalam berbagai jenis kemaksiatan dan perbuatan haram yang melanggar adab dan agama mereka yang berakibat pada tersebarnya semua kemaksiatan itu secara luas di kehidupan masyarakat Turki. Sehingga jika semua kemaksiatan itu dilarang secara tiba-tiba, bisa berakibat fatal. Seperti menimbulkan goncangan sosial di tengah masyarakat dan mengakibatkan hal lainnya yang tidak diinginkan.

Sebagaimana yang pernah diuraikan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang permasalahan seperti ini. Syekh Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa jika ada sekelompok umat Islam terbiasa hidup jauh dari ajaran Syariat dalam waktu yang lama, maka kedudukan mereka adalah seperti ahlul fatrah, yaitu orang-orang yang belum pernah mendapatkan ajaran para Nabi. Maka terhadap orang-orang yang belum mengetahui hukum halal dan haram seperti mereka, ajaran agama harus disampaikan secara bertahap. Bahkan penerapan semua hukum syariah secara langsung atas mereka bisa termasuk perbuatan haram, jika akan membawa akibat yang lebih buruk dalam kehidupan masyarakat dan akan menjauhkan mereka dari agama selamanya.

Inilah yang dapat kita lihat di zaman ini, ketika ada sejumlah gerakan yang memaksakan penerapan seluruh Syariah secara tiba-tiba atas sejumlah masyarakat Islam yang belum banyak mengetahui ajaran Islam. Sehingga usaha ini hanya menghasilkan kegagalan dan kerugian. Bahkan seringkali gerakan ini ditolak di berbagai lingkungan umat Islam yang memilih untuk menjauh dari perilaku mereka bahkan memusuhi mereka. Maka harus dipahami bahwa permasalahan ini tidaklah sederhana. Dan pertarungan hakiki yang terjadi di Turki lebih besar dari permasalahan melarang khamar dan (maaf) pelacuran. Karena kita berbicara tentang sebuah negara yang pernah melarang azan bahkan menutup masjid-masjid beberapa tahun lalu.

(2) Sudut Pandang Politik

Adapun dari sudut pandang politik, bahwa meskipun telah banyak yang dilakukan oleh “generasi Utsmani baru” untuk mengurangi pengaruh militer dalam dunia politik Turki, hanya saja pihak militer Turki yang banyak dipegang oleh petinggi diktator sekuler masih merupakan pemain terkuat dalam dunia pemerintahan Turki yang dapat dengan mudah membalikkan keadaan serta menghentikan semua rencana gerakan kebangkitan Islam.

Sekalipun tanpa adanya pelanggaran terhadap asas sekularisme dalam undang-undang, bahkan meskipun telah banyak usaha yang dilakukan untuk menenangkan militer dan petinggi sekularisme, masih saja ada sejumlah usaha secara tidak langsung untuk menggulingkan pemerintahan Turki yang sah, seperti sejumlah pernyataan yang diumumkan oleh pihak militer Turki, tepatnya pada tahun 2007 yang menyatakan bahwa pihak militer akan bertindak jika melihat adanya ancaman terhadap asas sekulerisme. Begitu juga dengan sebuah pernyataan militer yang diumumkan di situs resminya pada tahun 2010 tentang adanya sejumlah ancaman keamanan di dalam negeri.

Namun Erdogan dan rekan-rekannya, sekali lagi mampu untuk menyiasati permainan ini dengan cara yang amat mengagumkan. Maka bersamaan dengan keberhasilan mereka menghasilkan undang-undang baru di Parlemen Turki, untuk menghapus intimidasi atas tuntunan agama, para petinggi AKP (partainya Erdogan) segera menyatakan di depan umum bahwa mereka masih tetap menghormati asas sekulerisme negara.

Dan sebanyak apapun demonstrasi yang dijalankan para petinggi sekuler, AKP mampu mengimbanginya dengan demonstrasi tandingan yang puluhan kali lebih besar dari demonstrasi para petinggi sekulerisme. Karena partai ini telah membangun kepercayaan rakyat sejak awal masa pemerintahannya. Dengan tetap waspada untuk menghadapi segala bentuk usaha kudeta yang akan terjadi, karena kedua belah pihak benar-benar mengerti bahwa permasalahan sebenarnya bukanlah “akankah terjadi kudeta militer di Turki?” namun permasalahan sesungguhnya adalah “kapan kudeta itu akan terjadi?”

NB: Dan saat kudeta militer terjadi (sebagian militer, bukan seluruh kekuatan militer) pada tahun lalu 15 Juli 2016, dengan dukungan rakyat (dan juga militer yang menolak kudeta) akhirnya pemerintahan Erdogan tetap eksis.

Sumber: turkinesia.net


Baca juga :