JIHAD Menteri Agama, Antara Sang Bapak dan Anak


Oleh: Yusuf Maulana

“Mengapa HMI ingin dibubarkan? Apakah HMI sudah pernah Bapak panggil untuk dinasihati? Mohon dipertimbangkan sekali lagi!” Jawab K.H. Saifuddin Zuhri, Menteri Agama kala itu, saat ditanya Presiden Sukarno terkait rencana membubarkan Himpunan Mahasiswa Islam.

“Kalau HMI bubar NU ‘kan untung, PMII makin besar!”

Tanggapan Sukarno tidak keliru. Kalkulasi politiknya memang benar; kekuatan HMI dengan mudah dilibas, dan yang diuntungkan tentu anasir NU berikut sayap-sayapnya.

Amat menarik tanggapan Kiai Saifuddin Zuhri atas “imingan” Sukarno.

“Soalnya bukan masalah untung atau bukan. Sulit buat saya selagi masih Menteri Agama ada organisasi Islam yang dibubarkan tanpa alasan kuat!”

Dalam memoarnya yang berjudul Berangkat dari Pesantren (1987), Pak Kiai menyebutkan situasi batinnya sebagai "memberanikan diri untuk qulil haqqa walau kaana murra…!"

Berkata benar meski pahit pada sang atasan yang dihormati amatlah berisiko, baik pribadi, keluarga, apatah lagi partai/kelompok Pak Kiai. Inilah sebuah dakwah sekaligus jihad; membela kebenaran dan keadilan di depan penguasa langsung. Dan mencela praktik lalim penguasa tanpa harus menjatuhkan kehormatannya.

“Bukan membela HMI, Pak! Saya tidak ingin Presiden berbuat berlebihan. Itu termasuk tugas kami para pembantu Presiden,” mantap Pak Kiai ketika disangka beralih haluan membela HMI.

Ringkas cerita, andil Pak Kiai Saifuddin Zuhri turut menyelamatkan eksistensi HMI. Tahniah dan patut kiranya muslimin mengetahui ihwal ini. Meski sayangnya jasa tersebut “belum” diulang untuk ditiru oleh anaknya ke-11 (Lukman Hakim Saifuddin), sosok yang juga menjabat di kursi yang sama hari ini.

Pak Menteri Agama putra Pak Kiai Zuhri sejatinya dinanti banyak muslimin; bukan semata dari kelompok atau partai atau kalangan sehaluan di pemerintahan. Ada banyak saudara seiman yang mengharap bayan dan minda yang tegas; bukan terus-menerus menyebar syubhat, polemik, atau bahkan cibiran yang tak relevan.

Mungkin umat masih dangkal berpikir atau lemah menilai motif sebenarnya di diri Menteri Agama putra Pak Kiai Zuhri. Tapi, acap kalinya membuat yang jelas jadi samar atau sebaliknya samar menjadi jelas, ini memperlihatkan kadar kenegarawanan putra Pak Kiai Zuhri.

Semoga saja ada titik ketika nurani Pak Menteri Agama sekarang meruah; mendesak teramat untuk membela keadilan yang hari ini seolah asing bagi muslimin yang tidak sepihak dengan kekuasaan. Bukan senantiasa asyik menikmati bingkai positif menurut media pembela kekuasaan. Atau mengujari perkataan yang memperlihatkan keminderan dan jarang menampakkan kebanggaan sebagai penganut dienullah yang sebenar dan selurus bagi umat manusia. Bukan lagi beralasan dan berdalil minor semacam saat bahas pendosa LGBT hingga menoleransi tuak kala dijamu.

Semoga Lukman Hakim bin Saifuddin Zuhri mengingat momen di era Demokrasi Terpimpin itu, atau bahkan tatkala eyang buyutnya Haji Jakfar berjihad melawan Belanda bersama Pangeran Dipanegara di Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah.

Tampakkan sebagai wakil umat yang penuh percaya diri dan sadari diri, wahai putra Pak Kiai Zuhri! Bukan sebagai sosok yang lebih merendahkan diri di pentas kekuasaan dan politik harga diri elit negeri.***

(Penulis adalah Pustakawan Samben Library Yogyakarta)

Sumber: ROL


Baca juga :