Membaca “Pesan Rakyat” Dibalik Turunnya Popularitas Ridwan Kamil dan Naiknya Fahri Hamzah


Oleh: Teuku Zulkhairi*

Hasil survey yang dilakukan Pascasarjana (PPs) UIN Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung merilist hasil survey yang menunjukkan popularitas Ridwal Kamil yang anjilok. "Popularitas Deddy Mizwar meningkat dari 18,65 persen pada survei pertama, survei kedua menjadi 19,71 persen. Sedangkan Ridwan Kamil menurun dari 24,28 persen pada survei pertama menjadi 18,49 persen pada survei kedua," jelas Direktur PPs UIN SGD, Agus Salim Mansyur.

Sementara pada waktu bersamaan, Lembaga Kajian Suara Indonesia (LeKSI) menunjukkan Fahri Hamzah sebagai tokoh paling populer dan juga disukai masyarakat Nusa Tenggara Barat (NTB) jelang Pilgub Nusa Tenggara Barat (NTB). Popularitas Fahri mencapai 47,2 persen. Disusul kemudian oleh aktivis terduga makar, M. Hatta Taliwang dengan 43,2 persen, sebagaimana dirilist rmol.co.

Bagi saya dua fenomena ini sangat menarik. Bagaimana dua tokoh terbaik bangsa ini direspon publik dengan respon berbeda hasil atas sikap politik masing-masing keduanya. Fahri Hamzah sebagai seorang Legislator selama ini dikenal sangat kritis di hadapan penguasa. Hampir semua isu ia bersuara secara kritis, mewakili aspirasi kaum muda dan masyarakat umumnya.

Fahri dikenal sangat sering mengkritisi kebijakan penguasa yang tidak pro rakyat, baik di era SBY maupun di era Jokowi. Fahri nampak sangat menguasai berbagai tema dan latar belakang berbagai problematika kebangsaan yang mendera republik ini dari waktu ke waktu.

Nampaknya, ini alasan utama masyarakat NTB "menghargai" Fahri, sebagaimana dalam Pileg lalu Fahri juga merupakan Caleg yang berhasil raih suara terbanyak di NTB dan juga di antara kolega partainya Fahri sendiri, PKS.

Pendek kata, meskipun telah dipecat dari PKS, Fahri telah mampu memerankan dirinya sebagai wakil rakyat (legislator) yang konsisten bersuara kritis mengawal pemerintah (eksekutif) sehingga akhirnya ia memiliki elektabilitas yang tinggi dalam survey. Publik tidak melihatnya partainya, tapi melihat pikiran dan keberpihakan orang tersebut terhadap rakyat.

Sementara Ridwan Kamil, merupakan walikota yang sukses memimpin kota Bandung, Jawa Barat. Setidaknya ia sukses merealisasikan janji-janji politiknya. Banyak programnya yang populis dan Islami. Tapi kenapa popularitasnya anjilok padahal sebelumnya ia merajai hasil survey seperti survey yang dilakukan Poltracking?

Menurut perwakilan dari Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati sebagai pembahas hasil survei, Asep Saeful Muhtadi, di antara faktor yang menyebabkan popularitas Ridwan Kamil turun ada karena ada tindkan-tindakan yang dianggap tak populer.

"Misalnya, pilihan partai yang menjadi pendukung Ridwan Kamil adalah Nasdem. Keputusan itu, bagi masyarakat tak populer," kata Asep sebagaimana dilansir republika.co.id.

Sebagaimana diketahui, Ridwan Kamil yang menjadi walikota Bandung setelah diusung PKS dan Gerindra, akhirnya memutuskan maju dalam bursa Pilgub Jawa Barat melalui Nasdem.  Dan sebagaimana kita ketahui, majunya Ridwan Kamil (RK) via Nasdem adalah disertai dengan syarat bahwa RK harus mendukung Capres yang akan didukung Nasdem pada 2019 nanti, yaitu Joko Widodo.

Lalu apa salahnya RK yang didukung Nasdem dan disyaratkan dukung Jokowi di pilpres 2019 nanti? Tentu tidak ada yang salah. Hanya saja, beberapa kebijakan rezim Jokowi harus diakui sangat tidak populis, seperti menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik, dugaan kriminalisasi ulama, ketidakadilan hukum, ingkar janji, minus keteladanan dalam kepemimpinan dan berbagai sebab lainnya.

Artinya, RK menerima konsekuensi logis atas keputusan politiknya yang akan mendukung kandidat yang "sedang bermasalah" dengan rakyat pada Pilpres 2019. Popularitas RK langsung anjilok akibat blunder sikap politiknya sebagaimana disebutkan di atas, padahal di sisi lain ia adalah pemimpin yang tergolong sukses dan Islami.

Sementara Fahri menerima konsekuensi logis dengan meningkatnya dukungan publik kepada dia. Jadi, kesimpulan menarik yang bisa diambil dari fenomena Ridwan Kamil dan Fahri Hamzah adalah: Pertama, Jika kritis atas ketimpangan, maka siapa pun dan dari partai apapun akan didukung publik.

Kedua, Jika cenderung pasif atau merelakan terjadinya ketimpangan oleh penguasa, maka sebaik apapun tokoh itu pasti akan "dihukum rakyat". Jadi, untuk para tokoh rakyat, para politisi, wakil rakyat, teruslah bersuara kritis di hadapan berbagai ketimpangan yang mendera bangsa ini. Maka InsyaAllah rakyat pasti akan mendukung Anda secara tulus dan ikhlas.

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.


Baca juga :