Gejala ANOMALI Ekonomi Indonesia, Daya Beli Lesu, Kebijakan Pemerintah Hanya Teori

Body

[PORTAL-ISLAM.ID] Ekonomi Indonesia memasuki masa anomali. Lihat saja, sejumlah indikator makroekonomi, seperti nilai tukar rupiah, inflasi, dan pasar modal menunjukkan perbaikan. Di sisi lain, sektor riil, industri dan daya beli lesu.

Mari kita badingkan satu persatu.Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, inflasi Januari-Juni 2017 di angka 2,38 %, di atas periode sama tahun lalu sebesar 1,06%. Sedangkan di pasar modal, IHSG menguat 9,51% menjadi 5.800 year to date (ytd).

Data makro juga menunjukkan, ekonomi tumbuh 5,01% pada tiga bulan tahun ini. Periode sama tahun lalu, ekonomi tumbuh 4,92% dan sampai akhir tahun 4,94%.

Sayang, prestasi di atas belum mencerminkan kondisi riil. Berdasarkan riset KONTAN, penjualan properti dan semen melemah. Realisasi penjualan semen semester I-2017, misalnya, sebanyak 12,02 juta ton atau turun 1,3% dari periode sama tahun lalu.

Pada saat bersamaan, penjualan motor drop 13,1% menjadi 2,7 juta unit. Sementara penjualan ritel selama periode Lebaran 2017 naik tipis 3% dibandingkan bulan biasa. Padahal tahun lalu bisa mencapai 13% (lihat grafik atas).

Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Darmin Nasution melihat, turunnya penjualan ritel menjadi pertanda ekonomi lesu dan cermin lemahnya ekspansi swasta.

Alhasil, pemerintah akan merilis skema pembiayaan infrastruktur dan melibatkan swasta. "Yang penting, pokok permasalahan diselesaikan," kata Darmin, Rabu (26/7).

Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani, anomali ekonomi terjadi karena pelemahan daya beli. Kondisi itu semakin membuat pengusaha tertekan, sebab tingginya biaya produksi yang tak seimbang dengan daya beli masyarakat.

Untuk itu ia meminta pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan kontradiktif. Sebaliknya pemerintah harus mengeluarkan kebijakan pendongkrak pasar dan daya beli masyarakat, seperti menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP). [Pemerintah malah kebijakannya menurunkan PTKP -red]

Ekonom Lana Soelistianingsih berpendapat, pelemahan daya beli, khususnya kelas menengah bawah, memang mengkhawatirkan. Kini, konsumsi masyarakat beralih dari belanja untuk keperluan sehari-hari dan stok beberapa waktu mendatang, menjadi hanya keperluan sehari-hari.

Dia menunjukkan, hasil survei Nielsen bahwa penjualan hipermarket di kuartal I-2017 yang berkontraksi dibandingkan setahun sebelumnya, sementara penjualan minimarket naik di periode yang sama, adalah indikasi perubahan pola belanja. "Konsumen lebih selektif, beli apa dibutuhkan. Berbeda ketika memiliki daya beli yang kuat," katanya.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menyatakan, saat ini pengusaha kesulitan ekspansi karena kebijakan pemerintah hanya sebatas teori. Sejumlah janji insentif dunia usaha juga mandek, termasuk janji harga gas murah bagi industri.

Sumber: KONTAN

***

"Keadaan susah sekali," kata CEO ritel super modern Metro.


Baca juga :