[Sebuah Renungan] Antara Aksi Simpatik 55 dan Politik Belah Bambu Penguasa


[PORTAL-ISLAM]  Antikebhinekaan. Kata ini adalah prahara. Di rezim ini, kata tersebut menjadi senjata ampuh untuk melabeli orang-orang yang tidak sepaham dengan kehendak yang berkuasa. Apapun sikap dan kebijakan pemerintah, meski keliru sekalipun, tetap saja, para penentang yang disalahkan. Memang, di dua tahun kepemimpinan Jokowi, negara ini sudah mengalami kebuntuan demokrasi yang demikian hebatnya.

Ada yang tidak beres dengan negeri ini. Tetapi pemerintah tampaknya tidak sadar. Mereka tetap saja mempertahankan kesalahannya secara membabi buta. Padahal jutaan rakyat Indonesia, yang datang dari berbagai penjuru Nusantara, telah berkali-kali turun ke jalan-jalan Ibu Kota, guna menuntut perbaikan sikap penguasa.

Kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), pejabat pemerintahan yang telah menistakan kitab suci umat Islam – menurut pandangan keagamaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) – sudah memasuki babak akhir. Tak lama lagi, majelis hakim akan membacakan vonis bagi kandidat gubernur yang baru saja kalah di pilkada itu.

Namun, banyak pihak menduga, putusan pengadilan Jakarta Utara akan jauh dari rasa keadilan masyarakat. Mengingat, tuntutan dari Kejaksanaan teramat ringan, tidak sesuai dengan perbuatan terdakwa, yang nyata-nyata diakui jaksa di persidangan, telah terbukti berbuat salah.

Wajar saja jika kemudian umat Islam kembali turun ke jalan meminta keadilan. Ini negara demokratis, mereka berhak melakukan itu. Sejak awal, pemerintah memang telah berupaya melindungi Ahok dari jeratan hukum. Polisi, jaksa, bahkan sejumlah menteri sekalipun, tampil membela orang dekat Presiden Jokowi itu.

Politik Belah Bambu

Salah satu upaya penguasa dalam melindungi Ahok, adalah dengan mendegradasi para penuntut keadilan. Mereka dilabeli sebagai kelompok radikal, antikhebinekaan, antikeberagaman, dan semacamnya. Jadi, hal itu mengesankan Ahok tidak bersalah, sementara jutaan umat Islam yang berunjukrasa adalah orang-orang yang tidak berjiwa Pancasila, kelompok perusak NKRI.

Padahal, dalam demonstrasinya, mereka tidak pernah berlaku anarkistis. Mereka juga tidak rasis. Tuntutan mereka bukan dilandaskan karena Ahok berasal dari keturunan Tionghoa, ataupun beragama Katolik, tetapi karena ia menista ayat Al Quran. Sudah sepatutnya perbuatannya diganjar hukuman setimpal. Negara sudah mengatur hal itu dalam Pasal 156a KUHP.

Akan tetapi, aparat kepolisian bertindak tegas terhadap mereka. Ada-ada saja cara untuk mengkriminalisasi para tokoh yang terlibat aksi. Strategi ini bertujuan menggembosi dan melemahkan semangat perlawanan terhadap ketidakadilan tersebut. Mulai dari tuduhan makar terhadap para aktivis nasional dan tokoh agama, mencari-cari kasus lama, hingga tudingan keterlibatan ulama dalam sokongan dana untuk kegiatan terorisme.

Namun, yang lebih menyakitkan, adanya dugaan politik belah bambu yang diterapkan aparat terhadap kelompok-kelompok masyarakat. Ini adalah ungkapan sopan untuk menetralisasi ungkapan lain yang lebih sadis, seperti politik adu domba. Di satu sisi mengangkat salah satu kelompok, di sisi lain menginjak kelompok yang lain. Seperti cara orang membelah bambu, ada bagian yang diangkat, ada pula yang diinjak.

Tentu saja kelompok yang diinjak adalah mereka yang getol menyuarakan ketidakadilan pemerintah di kasus Ahok, di antaranya Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kedua ormas ini seperti “dicarikan lawannya”. FPI dengan Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI), HTI dengan Barisan Ansor Serbaguna (Banser).

Penyerangan dan aksi sweeping oleh GMBI terhadap anggota FPI yang mengawal pemeriksaan Habib Rizieq Shihab di Bandung pada awal tahun lalu, menguatkan dugaan ini. Begitu pula dengan dua aksi Banser yang membubarkan pengajian Ustadz Khalid Basalamah di Sidoarjo dan ceramah agama Ustadz Felix Siauw di Malang.

Kelompok sipil bergaya serdadu yang selalu menyuarakan toleransi dan kebhinekaan itu, malah berlaku intoleran terhadap kelompok dari agamanya sendiri. Terutama Banser yang merupakan organisasi sayap Nahdhatul Ulama (NU). Ketika Natal mereka terjun untuk menjaga gereja-gereja, dengan alasan toleransi akan keberagaman, sementara saat HTI melakukan pengajian mereka bubarkan. Ke mana sikap toleran mereka dalam menyikapi perbedaan pandangan?

Aksi main hakim sendiri Banser dan GMBI yang merupakan LSM binaan petinggi Polri, tidak pernah dipersoalkan aparat. Bisa jadi karena mereka pro pemerintah, mendukung Ahok, sehingga apapun perbuatan mereka hukum menjadi tumpul. Mereka adalah kroni penguasa, jadi harus dilindungi.

Meski begitu, segala upaya pengembosan itu tidak melemahkan semangat rakyat dalam berjuang. Keadilan harus tetap ditegakkan. Karena itu, pada 5 Mei 2017, umat Islam akan kembali turun ke jalan. Unjuk rasa itu mereka namakan Aksi Simpatik 55. Kali ini mereka akan mendatangi Mahkamah Agung (MA) guna menuntut hakim agar adil dalam memberikan putusan yang rencananya akan disampaikan pada 9 Mei 2017.

Kita lihat bersama, akankah pemerintah sadar akan kekeliruannya atau masih akan tetap mengangkangi aturan hukum demi melindungi orang dekatnya. Jika begitu, berarti hukum telah mati di negara ini. Hukum sudah menjadi alat politik, budak kekuasaan. Hukum menjadi barang mainan penguasa, sehingga keadilan yang diharapkan rakyat tidak akan pernah tercipta.

Penulis: Muhammad Fatih
Baca juga :