Metamorfosa Politik & Inkonsistensi Ridwan Kamil


Oleh : Hersubeno Arief*
Konsultan Media dan Komunikasi

Sempat mengamati perubahan penampilan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil? Silakan browsing di internet. Sudah dapat? Ya benar, tampilan Ridwan Kamil (RK) sekarang jauh lebih Islami. Dalam bahasa anak gaul,  RK “mendadak santri.” Setidaknya begitulah image yang sedang dia coba bangun.

Coba perhatikan foto-fotonya, dia kini selalu mengenakan peci. Di medsos juga beredar berbagai aktivitas dia berkunjung ke pesantren, menggalakkan kegiatan salat subuh, berkunjung ke PBNU, dan lain-lain. Yang paling kelihatan bahwa dia sedang membangun citra yang berbeda, adalah logo tampilan wajahnya. Dari semula mengenakan kacamata dan jambul modis. Kini berubah mengenakan peci.

Logo wajah berkacamata dengan jambul itu cukup ikonik dan dipakai ketika RK maju dalam Pilwalkot Bandung 2013. Pilihan tersebut sangat pas dengan citra kota Bandung yang menjadi salah satu pusat industri kreatif. Selain itu kesan muda, cerdas, gaul sangat match dengan citra diri RK sebagai arsitek tata kota.

Didukung oleh mesin politik PKS yang kuat dan Gerindra, jadilah RK yang sama sekali tidak punya pengalaman dunia politik dan birokrasi menjadi Wali Kota Bandung, salah satu kota terpenting di Indonesia.

Sekarang RK mencoba mengubah citra itu. Kata orang Sunda, lebih nyantri. Dari sisi pemasaran politik (political marketing) apa yang dilakukan oleh RK ini sebagai upaya untuk memperluas ceruk pasar. RK agaknya sangat menyadari, apa yang sukses di Bandung tidak cukup sebagai modal untuk sukses di Jabar.

Di Jabar modal muda, energik, cerdas saja tidak cukup. RK dan timnya nampaknya melihat Islam jadi salah satu faktor penting untuk memperluas pasar pemilih. Sebuah dasar pemikiran yang logis sekaligus strategis. Dari total penduduk Jabar (2015) sebanyak 46 juta orang, 97 persen beragama Islam. Angka ini lebih tinggi dari nasional yang hanya 87 persen (2014).

Secara tradisi Jabar adalah kantong pemilih Islam. Pada Pemilu 1955 partai berhaluan Islam Masyumi memperoleh suara terbanyak. Belum lagi bila ditambah dengan pemilih NU yang memperoleh suara keempat. Keduanya tampil perkasa mengalahkan suara PNI dan PKI yang berada di tempat kedua dan ketiga.

Dalam dua kali pemilihan terakhir (2008, 2013) Ahmad Heryawan yang diusung oleh PKS selalu memenangkan pilgub. Gabungan suara lima partai Islam PKB, PPP, PKS, PAN dan PBB pada Pileg 2014 mencapai 33,4 persen. Belum lagi bila kita bicara irisan suara pemilih Islam yang tersebar di suara partai nasionalis, suaranya sangat tinggi. Political rebranding yang dilakukan oleh RK dan timnya jelas menargetkan pasar besar umat Islam.

Jadi langkah RK berkopiah, menggalakkan salat subuh, berkunjung ke pesantren, bahkan sampai mengangkat akar sejarah keluarga, bahwa dia merupakan keturunan kiai besar merupakan langkah yang tepat dengan kalkulasi politik yang matang dan mantap.

Hanya sayangnya RK abai pada beberapa hal yang entah disadari atau tidak bisa menjadi bumerang atau setidaknya membuat political rebranding-nya menjadi sia-sia. Antara product dan packaging-nya tidak nyambung. Beda jauh banget antara isi dengan bungkus. RK melakukan beberapa langkah politik yang inkonsisten.

Setidaknya ada tiga hal yang bisa dicatat sebagai inkonsistensi dari RK. Pertama, membangun citra sebagai pluralis. Kedua, didukung Nasdem dan berjanji akan mendukung Jokowi. Ketiga, mengasosiasikan dirinya dengan Ahok.

Citra sebagai pluralis

Meraih posisi sebagai Wali Kota Bandung atas dukungan PKS, RK sejak awal mencoba memposisikan dirinya sebagai figur yang independen. Agaknya dalam kalkulasi politiknya, bila dia terlalu kuat diasosiasikan dengan PKS yang Islam, maka akan merugikan citra dirinya dan mempersempit ceruk pasar. Jelas ini erat kaitannya dengan roadmap politiknya yang ingin meraih jabatan Gubernur Jabar dan kemudian menjadi tokoh nasional. Untuk jadi figur nasional citra Islam “banget” akan merugikannya.

Karena itu dia harus menjaga jarak dengan PKS dan harus terkesan pluralis. Saking ingin dicitrakan sebagai figur yang pluralis RK mengaku selama menjabat sebagai Wali Kota Bandung telah memberi izin pendirian 300 rumah ibadah non muslim. Hal itu disampaikannya ketika mendapat penghargaan sebagai Tokoh Penggerak Pluralisme dari Muda-Muda Kristen se-Bandung Raya. Artinya setiap tahun, kata RK, ada 60 izin yang diberikan.

Pernyataan RK itu dimuat di berbagai media yang cukup kredibel. Namun anehnya setelah mendeklarasikan dirinya menjadi Cagub Jabar, RK membantah dan menyebut difitnah oleh salah satu ketua partai.

Menurut RK 300 izin rumah ibadah di Kota Bandung itu merupakan jumlah total keseluruhan, sejak zaman Belanda, hingga saat ini. Hebat juga arsipnya, masih punya data zaman Belanda. Sedangkan izin baru rumah ibadah selama dirinya menjadi wali kota, cuma dikeluarkan 10. Jumlah izin itu lima di antaranya buat masjid, tiga gereja, dan dua lagi vihara.

Silakan dibandingkan dua pernyataan yang sangat-sangat berbeda itu. Kalau mau berpikir positif, bisa jadi media salah mengutip, atau RK yang salah menyebut data, saking semangatnya mendapat penghargaan sebagai tokoh penggerak pluralisme. Kalau cuma tiga gereja dan dua vihara, tidak layak dong RK menjadi tokoh penggerak pluralisme.

Menjadi pertanyaan besar, media kok salahnya bisa berjamaah. Jadi supaya adil, silakan cek siapa yang sedang berbohong. Gampang kok infonya bertebaran dan tinggal di-googling.

Bila benar RK pernah “mengaku” menerbitkan 300 izin untuk tempat ibadah non muslim selama menjabat sebagai Wali Kota Bandung, maka itu sangat bertentangan dengan branding barunya yang nyantri. Lawan politiknya tinggal memplintir berapa ribu tempat ibadah non muslim yang akan dibangun bila RK terpilih jadi gubernur?

RK dalam suatu kesempatan juga pernah menyatakan secara pribadi dia tidak mempersoalkan kaum lesbian, gay, bisexual dan transgender (LGBT).

Dukungan Nasdem dan mendukung Jokowi

Nasdem adalah partai yang pertama kali mendukung RK maju sebagai cagub Jabar. Salah satu syaratnya RK bersedia mendukung pencalonan Jokowi sebagai Capres 2019. Ada dua hal yang perlu kita perhatikan. Pertama, tentang Nasdem itu sendiri. Kedua, soal dukungan atas Jokowi.

Dalam Pilkada DKI 2017 Nasdem adalah partai pertama yang mendukung Ahok sebagai cagub. Nasdem berjasa besar menyelamatkan Ahok, setelah sebelumnya mencoba gagah-gagahan mau maju sebagai calon independen dengan membuat Teman Ahok. Setelah itu baru bergabung Golkar, PPP Djan, Hanura dan PDI-P.

Akibat penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, partai-partai yang mendukung Ahok terkena imbasnya. Kalangan umat Islam mencatat dan menyatakan akan memboikot mereka dalam Pileg 2019. Coba tengok  medsos, meme ajakan boikot itu masih bertebaran. Bila partainya saja diboikot, apalagi orang yang didukungnya.

Agak sulit menyebut ini sebagai bentuk inkonsistensi atau kenaifan RK dalam berpolitik. Ketika dia mendeklarasikan diri bersama Nasdem (17/3/2017) suhu politik di Jakarta dan Indonesia sedang menghangat bahkan sangat panas, akibat ulah Ahok. Jutaan umat Islam melakukan beberapa kali unjuk rasa besar-besaran dalam Aksi Bela Islam (ABI).

Mustahil RK tidak tahu atau tidak mendengar peristiwa tersebut. Tapi dia tetap memutuskan maju bersama Nasdem dan meninggalkan PKS-Gerindra. Ulama populer sekelas Aa Gym secara tersirat sudah menyatakan kekecewaan dan menyarankan jamaahnya jangan sampai  memilih figur yang punya ciri-ciri seperti RK.

Mengenai kesediaan mendukung Jokowi secara kalkulasi politik juga rada-rada ajaib bin ajibun. Pada Pilpres 2014 Jawa Barat adalah kantong kemenangan utama pasangan Prabowo-Hatta. Di Jabar pasangan ini meraih suara 59.78 persen, sementara Jokowi-JK hanya 40,22 persen. Prabowo-Hatta juga menang di 22 kota/kabupaten dari total 27 kota/kabupaten di Jabar.

Jadi Jabar adalah kandangnya Prabowo. Dengan berbagai Aksi Bela Islam dan keberpihakan Jokowi kepada Ahok, hampir dipastikan Jabar akan menjadi medan pertempuran berdarah-darah bagi Jokowi. Perolehan suaranya diperkirakan bakal tergerus lebih dalam. RK pasti juga akan terkena imbasnya.

Mengasosiasikan diri dengan Ahok

Bentuk inkonsistensi lain dari RK adalah “keberanian” mengasosiasikan dirinya dengan Ahok. Saat menjadi keynote speaker dalam acara Transforming Lives Human and Cities: How Social and Green Can We Go yang digelar oleh Lippo Group (2/5/2017), RK berkali-kali memuji pembangunan Jakarta dan tangan dingin Ahok dalam membangun Jakarta menjadi lebih baik.

RK mengaku sangat kagum dan belajar banyak dari Ahok. Menurutnya, Bandung dan Jakarta sama. Untuk mengubah kota yang memiliki citra tingkat korupsi tinggi dan birokrasi buruk, dibutuhkan pemimpin atau kepala daerah yang bermental baja, berani dan tak takut didemo.

“Kalau enggak punya mental seperti itu, Anda enggak siap jadi pemimpin. Anda harus memiliki mental kuat dan berani, seperti Pak Ahok. Wah luar biasa dia,” ungkapnya.

Coba perhatikan. Pujian itu disampaikan pada tanggal 2 Mei ketika Ahok sudah dipastikan kalah dalam Pilkada DKI. Pasti ucapan tersebut sudah RK pikirkan masak-masak bakal berdampak buruk padanya. Sentimen umat Islam terhadap Ahok masih sangat tinggi, kendati dia sudah kalah. Tanggal 5 Mei masih ada demo besar-besaran menuntut Ahok dijatuhi hukuman berat.

Mudah-mudahan RK kali ini tidak mengaku difitnah lagi dan media salah mengutip. Sebab pujiannya kepada Ahok secara terbuka, sangat bertentangan dengan branding barunya sebagai santri.

Dalam marketing politik, rebranding memang sangat diperlukan baik untuk memperbesar ceruk pasar atau memenangkan persaingan dengan kompetitor. Tetapi yang harus diingat, antara kemasan dengan isinya harus sesuai. Tidak boleh terlalu jumping. Alias Jaka Sembung naik ojek.

Bila kemasan dan isinya, begitu pula dengan promosinya tidak nyambung, publik bisa kecewa, marah, dan menolak produk itu. Jangan lupa peran word of mouth marketing (WOMM) dalam era media sosial sangat dahsyat. Apalagi kalau yang bicara atau men-twitt adalah figur yang sangat populer dan dipercaya seperti Aa Gym.

Atos-atos lalampahan nana Kang RK. Watch your Step!

___
Sumber: http://obsessionnews.com/metamorfosa-politik-ridwan-kamil/


Baca juga :