"Haditsul Ifki" BERITA DUSTA Dijadikan Kaum Munafikun SENJATA Merusak UMAT


Marilah kita ambil ibroh dari peristiwa yang pernah menimpa di zaman Rasulullah yang dilakukan Kaum Munafikun dengan Berita Dusta yang menimpa istri beliau, Aisyah yang dituding berbuat tak senonoh (selingkuh dengan pemuda). Peristiwa ini dikenal dalam siroh dengan sebutan "Haditsul Ifki" (Berita Dusta). Ujian yang sempat hampir memporak porandakan rumah tangga Rasulullah dan hampir membuat antar para sahabat bertikai dan nyaris perang antar kabilah Umat Islam.

KAUM MUNAFIKUN selalu mencari cara untuk menghancurkan Islam dan Umatnya. Setelah gagal menghalangi umat Islam untuk berjihad (kalau sekarang -- gagal menghadang Aksi-aksi Bela Islam), kaum munafik tidak lantas putus asa. Mereka memanfaatkan insiden lain untuk menyebar racun di tengah kaum Muslimin. Peristiwa ini terkenal dengan haditsul ifki (berita dusta).

Kisah ini bermula ketika Aisyah yang mendapat giliran menyertai Rasulullah dalam Perang Muraisi’ kehilangan kalungnya saat perjalanan pulang menuju Madinah pasca peperangan. Aisyah yang tertinggal sendirian dari rombongan pasukan akhirnya ditemukan oleh seorang pemuda sahabat Nabi yang bernama Shafwân bin al-Mu’atthal as-Sulami. Asiyah menaiki onta milik Shafwân yang menuntunnya berjalan kaki di depan dan berhasil menyusul rombongan pasukan yang tengah istirahat. Mengetahui istri Nabi datang berdua dengan Shafwân, mulailah kaum munafik kasak kusuk.

Peristiwa ini dimanfaatkan oleh kaum munafik. Mereka membubuhi kisah ini dengan berbagai cerita bohong tak senonoh. Diantara yang sangat berantusias menyebarkan cerita bohong dan keji itu adalah dedengkot munafikun, Abdullah bin Ubay bin Salul.

Secara detil Aisyah menuturkan kisahnya:

"Rasulullah SAW bila berniat hendak mengadakan suatu perjalanan, beliau mengundi di antara istri-istri beliau. Bila nama seorang dari mereka keluar, berarti dia ikut bepergian bersama beliau. Pada suatu hari, beliau mengundi nama-nama kami untuk suatu peperangan yang beliau lakukan, dan keluar namaku.

Aku pun keluar bersama Rasulullah SAW setelah turun ayat hijab. Aku dibawa di dalam sekedup dan ditempatkan di dalamnya (semacam tenda kecil dan dibawa di atas onta saat bepergian). Kami berangkat hingga ketika Rasulullah SAW telah selesai dari peperangan tersebut kami kembali pulang. Ketika hampir dekat dengan Madinah, beliau mengumumkan untuk beristirahat malam. Maka aku keluar dari sekedup saat beliau dan rombongan berhenti lalu aku berjalan hingga aku meninggalkan pasukan. Setelah aku selesai menunaikan keperluanku, aku kembali menuju rombongan namun aku meraba dadaku ternyata kalungku yang terbuat dari batu akik telah jatuh. Maka aku kembali untuk mencari kalungku.

Sementara itu, orang-orang yang membawaku menuntun kembali unta yang aku tunggangi. Mereka mengira aku sudah berada di dalam sekedup. Memang, pada masa itu mayoritas wanita berbadan ringan, tidak berat, dan mereka tidak memakan daging. Mereka hanya makan sesuap makanan hingga orang-orang tidak dapat membedakan berat sekedup ketika diangkat, apakah ada wanita didalamnya atau tidak.

Saat itu aku adalah wanita yang masih muda. Maka mereka menggiring unta-unta dan berjalan. Dan aku baru mendapatkan kembali kalungku setelah pasukan sudah berlalu. Maka aku datangi tempat yang semula rombongan berhenti namun tidak ada seorang pun disana. Lalu aku kembali ke tempatku saat tadi berhenti dengan harapan mereka merasa kehilangan aku lalu kembali ke tempatku. Ketika aku duduk, aku merasa sangat mengantuk hingga akhirnya aku tertidur.

Beberapa saat kemudian, Shafwan bin Al-Mu’aththal As-Sulami Adz-Dzakwan datang dari belakang rombongan pasukan dan menghampiri tempatku. Dia melihat ada tanda orang sedang tidur maka dia mendatangiku. Dahulu sebelum turun ayat hijab, dia pernah melihatku.

Aku pun terbangun karena mendengarnya mengucapkan "Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun" (Istirja) saat mengetahui keberadaanku. Aku lantas menutupi wajahku dengan jilbabku dan demi Allah, kami tidak berbicara sepatah kata pun. Aku juga tidak mendengar satu kalimat pun yang diucapkannya selain istirja’ nya. Ia kemudian menunduk hingga aku menaiki tunggangannya itu, lalu ia menuntunnya hingga kami dapat menyusul rombongan setelah mereka singgah untuk melepas lelah ketika siang berada di puncaknya. Maka binasalah siapa yang binasa. Dan orang yang berperan menyebarkan tuduhan adalah Abdullah bin Ubay bin Salul."

(Urwah, salah seorang perawi hadist berkata, “Aku diberitahu bahwa berita itu dibicarakan, disiarkan, lalu dibenarkan dan dikomentarinya berita tuduhan palsu dan bohong itu.”)

Aisyah berkata, “Kami tiba di Madinah dan aku menderita sakit selama satu bulan sementara orang-orang mulai terpengaruh dengan berita bohong ini dan aku sama sekali tidak merasa apa-apa (Aisyah tidak tahu akan tersiarnya berita dusta tsb. Rasulullah juga tak membicarakannya. Aisyah baru tahu belakangan -red). Aku hanya heran dengan perubahan sikap Nabi Muhammad SAW yang tidak biasanya, terutama ketika aku sakit. Beliau hanya menjengukku lalu memberi salam lalu bertanya tentang keadaanku, kemudian kembali keluar. Itulah yang meragukanku (bertanya-tanya ada apa gerangan), sebab aku merasa tidak berbuat salah.

Hingga akhirnya aku sembuh dan aku keluar bersama Ummu Misthah ke lapangan luas di Kota Madinah. Kami keluar ke sana pada waktu malam. Di sana tempat kami berhajat sebelum dibuatkan WC di dekat rumah, sebab itu merupakan adat bangsa Arab di masa dahulu jika akan buang air harus menjauh sejauh-jauhnya dari rumah, sebab merasa terganggu jika WC ada di dekat rumah.

Maka aku bersama Ummu Misthah, putri Abu Ruhm bin Al-Muththallib bin Abdi Manaf dan ibunya binti Shakr bin Ami bibi Abu Bakar Ash-Shiddiq, sedangkan putranya bernama Misthah. Tiba-tiba kakinya tersangkut pada roknya hingga hampir jatuh. Secara spontan ia lantas berkata, “Celakalah Misthah!” Aku katakan, “Sungguh buruk apa yang kamu ucapkan tadi. Apakah kamu mencela seorang yang pernah ikut Perang Badar (maskudnya Misthah -red)?” Dia berkata, “Wahai baginda putri, apakah baginda belum mendengar apa yang mereka perbincangkan?” Lalu dia mengabarkan kepadaku tentang berita bohong (tuduhan keji) itu.

Otomatis, kejadian itu semakian menambah parah sakitku di atas sakit yang telah aku rasakan. Ketika aku sudah kembali ke rumah, Rasulullah masuk menemuiku lalu memberi salam dan berkata, “Bagaimana keadaanmu?” Aku jawab, “Izinkan aku untuk pulang ke rumah kedua orang tuaku.” Aisyah berkata, “Saat itu aku ingin mencari kepastian berita dari kedua orang tuaku.” Maka Rasulullah memberiku izin dan akhirnya aku menemui kedua orang tuaku lalu aku tanyakan kepada ibuku, “Apa yang sedang dibicarakan oleh orang-orang?” Ibuku menjawab, “Wahai putriku, anggaplah ringan urusan yang sedang menimpa dirimu ini. Sungguh demi Allah, sangat jarang seorang wanita yang tinggal bersama seorang suami yang dia mencintainya padahal ia mempunyai istri lain, melainkan istri-istri lainnya akan menyebarluaskan aibnya.” Aku katakan, “Subhanallah, sungguh orang-orang yang telah memperbincangkan masalah (berita dusta) ini?”

Maka aku melewati malam itu hingga pagi dengan air mata yang tak bisa lagi menetes karena habis dan aku tidak bisa tidur karenanya hingga pagi hari.

Aisyah berkata, “Rasulullah lantas memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid ketika wahyu belum juga turun untuk mengajak keduanya bermusyawarah perihal rencana menceraikan istri-istri beliau. Adapun Usamah, ia memberi isyarat kepadanya dengan apa yang diketahuinya secara persis karena kecintaanya kepada rumah tangga Rasulullah. Usamah berkata, “Keluarga baginda wahai Rasulullah, demi Allah tidaklah kami mengenalnya melainkan kebaikan semata.” Sedangkan Ali bin Abi Thalib berkata, “Wahai Rasulullah, Allah tidak akan menyusahkan baginda sebab masih banyak wanita lain selain dia dan tanyakanlah kepada sahaya wanitanya yang dia akan membenarkan baginda.”

Maka Rasulullah memanggil Barirah lalu berkata, “Wahai Barirah, apakah kamu melihat pada diri Aisyah sesuatu yang meragukan kamu tentangnya?” Barirah menjawab, “Demi Dzat yang mengutus baginda dengan benar, sama sekali aku belum pernah melihat aib pada diri Aisyah yang bisa kugunakan untuk membongkar aibnya. Kalaupun aku melihat sesuatu padanya tidak lebih dari sekedar perkara kecil yang ketika ia masih sangat muda ia pernah ketiduran saat menjaga adonan roti, lantas ada hewan ternak datang dan memakan adonan tersebut.”

Maka akhirnya pada suatu hari, Rasulullah mengumpulkan para sahabat dan berdiri di atas mimbar untuk meminta pendapat atas ulah biang kerok Abdullah bin Ubay bin Salul. Beliau bersabda di atas mimbar, “Wahai kaum Muslimin, siapakah yang bisa mengemukakan pertanggungjawaban terhadapku terhadap seorang yang telah kudengar telah menyakiti keluargaku? Demi Allah, aku tidak mengetahui keluargaku melainkan kebaikan semata. Sungguh mereka telah menyebut-nyebut seorang lelaki (maksudnya Shafwan yang diisukan selingkuh) yang aku tidak mengenalnya kecuali kebaikan semata. Dia tidak pernah mendatangi keluargaku kecuali selalu bersamaku.

Maka Sa’ad bin Mu’adz (pimpinan suku Aus) berdiri lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan membalaskan penghinaan ini untukmu. Seandainya orang itu dari kalangan suku Aus, kami akan penggal lehernya dan seandainya dari saudara-saudara kami suku Khazraj, perintahkanlah kami (untuk membunuhnya) pasti akan kami laksanakan perintah baginda tersebut.”

Lalu berdirilah Sa’ad bin ‘Ubadah, seorang tokoh Khazraj yang sebelumnya dia adalah orang yang shaleh, namun hari itu ia terbawa oleh sikap kesukuan, “Dusta kamu, kamu tidak akan pernah bisa membunuhnya dan tidak akan bisa membalaskannya.” Kemudian Usaid bin Hudhair -sepupu Sa’ad berdiri seraya berkata, “Sungguh dusta kamu, kami pasti akan membunuhnya. Sungguh kamu telah menjadi munafik karena membela orang-orang munafik.”

Maka terjadilah perang mulut antara suku Aus dan Khazraj hingga telah saling ingin melampiaskan kekesalannya, padahal Rasulullah masih berdiri di atas mimbar hingga akhirnya beliau turun lalu menenangkan mereka hingga akhirnya mereka terdiam dan beliau pun diam.

Aisyah kembali menuturkan, "Maka aku menangis sepanjang hariku hingga air mataku tak bisa lagi menetes karena kering dan aku tidak bisa tidur karenanya hingga akhirnya kedua orang tuaku berada di sisiku sedangkan aku telah menangis selama dua malam satu hari, sehingga aku menyangka hatiku jangan-jangan menjadi pecah.”

Aisyah berkata, “Ketika kedua orang tuaku sedang duduk di dekatku sementara aku terus menangis, tiba-tiba ada seorang wanita Anshar yang meminta izin masuk lalu aku izinkan. Ia kemudian duduk sambil menangis bersamaku. Ketika dalam keadaan seperti itu tiba-tiba Rasulullah datang lalu duduk, namun tidak duduk di dekatku sebagaimana saat beliau menyampaikan apa yang telah terjadi denganku sebelum itu. Padahal, peristiwa ini telah berlalu selama satu bulan dan wahyu belum juga turun untuk menjelaskan perkara yang menimpaku ini.”

Aisyah berkata, “Maka Rasulullah mengucap dua kalimah syahadat kemudian berkata, ‘Wahai Aisyah, sungguh telah sampai kepadaku berita tentang dirimu begini dan begini. Jika kamu bersih tidak bersalah pasti nanti Alah akan membersihkanmu. Namun, jika kamu jatuh pada perbuatan dosa maka mohonlah ampun kepada Allah dan bertobatlah kepada-Nya karena seorang hamba bila mengakui telah berbuat dosa lalu bertobat, maka Allah pasti akan menerima tobatnya."

Setelah Rasulullah mengucapkan kalimat itu, air mataku habis mengering (menangis sejadi-jadinya) hingga tak kurasakan setetes pun. Lalu aku katakan kepada bapakku (Abu Bakar Ash-Shidiq), “Jawablah kepada Rasulullah tentang aku.” Bapakku berkata, “Demi Allah, aku tidak mengetahui apa yang harus aku katakan kepada Rasulullah.” Lalu aku katakan kepada ibuku, “Jawablah kepada Rasulullah tentang aku dari apa yang baru saja beliau katakan.” Ibuku menjawab, “Demi Allah, aku tidak mengetahui apa yang harus kukatakan kepada Rasulullah.” Asiyah berkata, “Aku hanyalah seorang anak perempuan yang masih muda yang aku tidak banyak membaca Al-Quran.”

Aku katakan, “Sesungguhnya aku, demi Allah, aku telah mengetahui bahwa kalian telah mendengar apa yang diperbincangkan oleh orang banyak dan kalian pun telah memasukkannya dalam hati kalian lalu membenarkan berita tersebut. Jika aku katakan kepada kalian 'Sesungguhnya aku bebas dari tuduhan itu', dan Allah tahu bahwa aku memang bebas darinya, tentunya kalian tidak akan percaya begitu saja kepadaku. Namun jika aku mengakui tuduhan itu, padahal Allah tahu aku bebas darinya, tentunya kalian akan mempercayainya. Demi Allah, aku tidak menemukan diantara aku dan kalian suatu perumpamaan melainkan saperti ayah Nabi Yusuf ketika ia berkata, ‘Bersabarlah dengan sabar yang baik, dan Allah tempat meminta pertolongan dari segala yang kalian gambarkan.'” (Yusuf : 18)

Aisyah melanjutkan, "Setelah itu, aku pergi menuju tempat tidurku dengan berharap Allah akan membersihkan aku. Akan tetapi demi Allah, aku tidak menduga kalau Allah menurunkan suatu wahyu tentang urusan yang menimpaku ini. Karena tidak pantas kalau Al-Qur’an turun untuk membicarakan masalahku ini. Aku hanya berharap agar Allah memperlihatkan kepada Rasulullah dalam mimpi yang menjelaskan kebersihanku.

Demi Allah, Rasulullah belum berpindah tempat dari tempatnya dan semua orang yang hadir belum ada yang bangun. Beliau juga belum menuju majelisnya dan begitu pula para Ahlul Bait.

Tiba-tiba diturunkan wahyu kepada beliau. Maka beliau menerima wahyu tersebut sebagaimana beliau biasa menerimanya dalam keadaan demam sangat berat dengan bercucuran keringat. Setelah wahyu turun kepada beliau, tampak beliau tertawa gembira dan kalimat pertama yang beliau ucapkan adalah saat beliau berkata kepadaku, “Wahai Asiyah, sungguh Allah telah membersihkanmu.” Lalu ibuku berkata kepadaku, “Bangkitlah untuk menemui Rasulullah (berterimakasih).” Aku katakan kepada ibuku, “Demi Allah, aku tidak akan berdiri menemuinya dan tidak akan aku memuji siapapun selain Allah."

Setelah sebulan diguncang dengan Berita Dusta yang disebar Kaum Munafikun, Allah SWT menurunkan wahyunya:

11. Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu, tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, maka baginya azab yang besar.

12. Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang Mukminin dan Mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) mengatakan, “Ini adalah berita bohong yang nyata.”

13. Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itu di sisi Allâh adalah orang- orang yang dusta.

14. Sekiranya tidak ada kurnia Allâh dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, akibat pembicaraan kamu tentang berita bohong itu.

15. (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal dia di sisi Allâh adalah besar.

16. Dan Mengapa kamu diwaktu mendengar berita bohong itu tidak mengatakan, “Kita sama sekali tidak pantas untuk mengucapkan ini, Maha Suci Engkau (Ya Rabb kami), ini adalah dusta yang besar.”

17. Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.

18. Dan Allâh menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Dan Allâh Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

19. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allâh mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.

20. Dan sekiranya bukan karena kurnia Allâh dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allâh Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar).

[QS An-Nûr :11-20]

Dengan turunnya ayat ini, maka permasalahan ini pun menjadi jelas. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma merasa lega. Begitu juga yang dirasakan oleh kaum Muslimin, namun mereka merasa berang dengan orang-orang yang ikut andil dalam mencoreng nama baik ummul Mukminin.

Setelah perkara ini menjadi jelas, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menuntaskannya dengan memberikan sanksi kepada mereka yang terlibat dalam membuat dan menyebarkan Berita Dusta.

Baca juga :