Ahok Tumbal Citra Istana


Oleh: Rabitul Umam*

Fenomena Ahok adalah fenomena yang paling banyak menarik perhatian, baik nasional maupun internasional. Apalagi setelah Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara untuk Ahok banyak pihak yang turut marasakan kekecewaan. Beberapa kalangan yang tidak menerima putusan pengadilan mengatakan bahwa Ahok adalah korban dari kriminalisasi, desakan gerakan anti keberagaman, dan intervensi politik.

Sorotan pendukung Ahok mayoritas ditujukan kepada kelompok Habib Riziq yang dinyana sebagai penyebab dihukumnya Ahok. Bagi penulis, tuduhan tersebut terlalu prematur dan mencederai nalar logika sehat. Pasalnya, siapa sih Habib Riziq itu, dia seorang warga sipil biasa yang tidak mempunyai kekuatan politik struktural. Dia bukan pemimpin sebuah partai politik, bukan seorang pejabat kuat, bukan seorang politisi senior yang berpengaruh, bukan pula seorang penguasa kaya raya yang dapat “membeli” hukum.

Adapun dalam hal ia berperan mempengaruhi oponi publik bahwa Ahok telah menista agama dan menuntut secara terbuka agar pengadilan menghukum terdakwa Ahok, benar adanya. Namun sekali lagi, siapalah seorang Habib Rizieq dalam kancah perpolitikan struktural nasional? Dia hanyalah warga sipil biasa yang sedang memimpin gelombang demonstarsi. Tak lebih. Dan sebesar apapun aksi demonstrasi tidak akan dapat mempengaruhi proses hukum.

Dalam kasus terpidana Ahok ini penulis mempunyai empat analisa opini mengapa Ahok sampai dijatuhi hukuman 2 tahun penjara. Pertama Hakim dengan segala independensinya telah mengkaji secara matang dan kemudian secara obyektif mengambil keputusan bahwa terdakwa Ahok bersalah. Kedua, Hakim terpengaruh oleh desakan people power yang menuntut agar terdakwa Ahok dihukum. Ketiga, ada intervensi politik dari partai atau politisi kubu lawan Ahok agar hakim menjatuhkan hukuman bersalah kepada terdakwa Ahok. Dan keempat, faktor pertimbangan politis dari internal lingkaran Ahok sendiri. Dimana pihak Istana dan PDIP sedang melakukan politik cuci tangan dengan “mengorbankan” seorang Ahok.

Dari keempat analisa itu penulis memandang yang mendekati kebenaran logika sehat adalah analisa yang pertama dan keempat. Sedangkan analisa kedua dan ketiga penulis rasa jauh untuk diterima logika. Mari kita bersama mencoba membedah satu persatu keempat analisa itu dengan akal sehat dan jernih.

Kita mulai dari membedah analisa kedua, hakim terpengaruh oleh tekanan people power. Analisa ini dirasa nyaris tidak mungkin terjadi, pasalnya hakim Dwiarso Budi yang memimpin selama jalannya sidang kasus Ahok adalah seorang hakim yang mempunyai rekam jejak cukup baik dan terkenal integritasnya. Jadi, bila ada yang mengatakan bahwa majelis hakim menjatuhkan hukuman tahanan 2 tahun penjara pada Ahok karena ada tekanan publik itu mustahil. Karena sangat tidak mungkin seorang hakim yang selama bertahun-tahun membangun integritas pribadinya rela mengorbankan integritasnya hanya untuk kasus Ahok yang sesaat. Disamping juga sebagaimana telah dijelaskan di depan, pihak yang getol mendesak agar Ahok dijatuhi hukuman yaitu pihak Habib Rizieq bukanlah seorang yang mempunyai kekuatan politik struktural apapun.

Kemudian analisa yang ketiga, intervensi politik dari partai atau politisi kubu lawan Ahok. Analisa ini juga tidak rasional. Mengingat partai politik yang berseberangan dengan kubu ahok sangat minoritas, hanya Gerindra, PKS, dan PAN, kekuatan dari tiga parpol ini terlalu minor bila dibandingkan kekuatan parpol yang membackup Ahok. Apalagi ketiga parpol yang berseberangan dengan Ahok itu saat ini berada di luar Istana dan tidak memegang otoritas politik, baik di eksekutif, legislatif, apalagi yudikatif.

Analisa yang menurut hemat penulis cukup rasional dan dapat diterima akal sehat adalah analisa pertama, yaitu vonis yang dijatuhkan hakim terhadap terpidana Ahok adalah murni keputusan hakim secara obyektif dan profesional. Sedangkan analisa yang mendekati kebenaran logis dan akal sehat adalah analisa keempat, pihak Istana dan koalisi partai dibawah pimpinan PDIP telah merelakan ahok untuk dihukum. Hal ini dikarenakan Ahok telah dipandang sebagai kartu mati yang kurang “berguna” secara politik.

Sebagaimana umum diketahui bahwa Ahok adalah calon gubernur DKI Jakarta “utusan” Istana yang dianggap sebagai calon kuat untuk memenangkan pertarungan Pilgub Jakarta. Namun pasca kasus penistaan Agama, elektabilitas Ahok berangsur menurun bahkan juga berimbas menurunkan citra Jokowi dan PDIP. Puncaknya pasca kekalahan telak Ahok di pertarungan Pilgub DKI Jakarta citra Jokowi dan PDIP semakin merosot secara nasional.

Kekalahan Ahok di Pilgub DKI Jakarta sekaligus menjadi alarm bahaya bagi Jokowi dan PDIP yang masih menginginkan kemenangan di Pilpres 2019. Maka untuk menjaga agar elektabilitas tidak terus merosot turun dilakukanlah “politik cuci-tangan” dengan membiarkan Ahok “sendirian” menghadapi “babak final” pengadilan. Dengan dijatuhkannya vonis hukuman 2 tahun penjara kepada Ahok, maka secara bersamaan Jokowi dan PDIP mendapat keuntungan citra atau klaim politik sebagai pihak yang menegakkan hukum secara adil dan tidak memihak.

Padahal, bila seandainya Ahok menang dalam Pilgub DKI Jakarta dimungkinan akan ada intervensi Istana untuk membebaskan Ahok atau minimal hakim memutuskan hukuman sesuai dengan tuntutan Jakasa, yaitu 2 tahun masa percobaan dan 1 tahun kurungan. Karena seandainya Ahok menang, Ahok masih dipandang sebagai seorang yang mempunyai power politik massa yang bisa “dipakai” PDIP dalam Pilpres 2019. Namun saat Ahok kalah, Ahok telah menjadi “benalu” politik bagi Jokowi dan PDIP.

Akhirnya sekalian saja dia dikorbankan sebagai tumbal politik untuk menyelamatkan dan mengembalikan citra Istana dan partainya.(*)

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Sarif Hidayatullah Jakarta

Sumber: TS


Baca juga :