YANG MEMISAHKAN AGAMA DAN POLITIK, TIDAK TAHU KEDUANYA


YANG MEMISAHKAN AGAMA DAN POLITIK, TIDAK TAHU KEDUANYA

Oleh: dr. Gamal Albinsaid*

Semoga Allah ridhoi tulisan ini. Tulisan ini saya buat menanggapi pernyataan dari sosok yang saya kagumi, saya banggakan, dan saya teladani, Bapak Joko Widodo, presiden kebanggaan kita semua, yang telah meneladankan arti dari sebuah kesederhanaan dan telah menjadi inspirasi yang menyejarah bagi kami pemuda-pemudi Indonesia. Diantara kekaguman saya, izinkan saya menyampaikan sedikit ketidaksetujuan saya dan kekhawatiran saya atas pernyataan Bapak untuk memisahkan agama dan politik.

Sekitar 5 bulan lalu, Prof. Aiko Takenobu dari Jepang datang ke Kota Malang, beliau ingin bertemu saya untuk meneliti alasan-alasan orang melakukan kebaikan-kebaikan. Sering beliau bertanya ke orang Indonesia, kenapa anda melakukan kebaikan ini? Kenapa anda melakukan kebaikan ini? Sebagian orang-orang Indonesia mengatakan “karena di agama saya diajarkan”. Dari pertemuan dengan beliau, saya mendapatkan hikmah bahwa agama menuntun banyak masyarakat kita menjalankan kebaikan-kebaikan dan menjadi benteng penjaga yang mencegah masyarakat kita berbuat keburukan – keburukan.

Negara ini baru saja bersedih, beberapa minggu lalu, kita kehilangan ulama besar, Almarhum KH Hasyim Muzadi. Apa nasehat beliau? “Yang harus dilakukan adalah berpolitik agama bukan beragama politik. Politik agama adalah politik yang bernafaskan nilai luhur agama. Sedangkan agama politik adalah politik yang mengorbankan agama asal tujuan politiknya tercapai”. Sungguh tinggi, dalam, dan sejuk nasehat kyai kita ini, dari sana saya menarik sebuah pelajaran bahwa dengan politik agama maka kita akan sampai pada politik yang beradab, adil, bijaksana, santun dan tentunya mementingkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi, golongan, dan partai. Sebaliknya, politik tanpa agama akan melahirkan politisi-politisi rendahan yang mengorbankan agamanya untuk mengejar motivasi rendahan yaitu harta dan kekuasaan. Tentunya akan jauh lebih menyejukkan, menentramkan, dan membahagiakan jika kita memisahkan politik dengan uang dan kepentingan pribadi.

Bukan hanya Kyai yang saya banggakan, Mahatma Gandhi, pemimpin spiritual dan politikus dari India. Beliau adalah tokoh penting dalam gerakan kemerdekaan India. Mahatma Gandhi dikenal memiliki nilai-nilai ajaran yang sangat sederhana berdasarkan kepercayaan Hindu tradisional, yaitu kebenaran (satya), dan non-kekerasan (ahimsa). Apa tanggapan beliau kepada mereka yang memisahkan politik dan agama? “Those who believe religion and politics aren’t connected don’t understand either. Those who say religion has nothing to do with politics do not know what religion is.”

Mari sekarang kita beralih ke Amerika Serikat, apakah Amerika Serikat menyatukan atau memisahkan agama dan politik? Beverly LaHaye seorang aktivis wanita Kristen konservatif Amerika menyatakan “Yes, religion and politics do mix. America is a nation based on biblical principles. Christian values dominate our government. The test of those values is the Bible”. Nilai-nilai Amerika dan hubungannya dengan agama juga diungkapkan oleh Donald Trump dalam Deklarasi visi nasionalisme religious yang dilakukannya pada bulan Februari kemarin, sang presiden menyatakan bahwa “Amerika merupakan seperangkat nilai, berakar pada identitas agama negara itu.” Lebih dari itu, dalam tulisan Julie Butters yang berjudul Why America Can’t Separate Religion and Politics and What that Means for The 2016 Elections menunjukkan bahwa keberpihakan dan pedulian politisi pada nilai-nilai agama serta penerapan nilai-nilai agama dalam politik menjadi faktor penting penentu kemenangan para politisi, partai, dan presiden Amerika sepanjangan sejarahnya.

Dari berbagai pendapat dan contoh diatas, memisahkan agama dan politik bukanlah solusinya, karena penyatuan agama dan politik bukanlah sebuah masalah. Lalu apa masalahnya? Teolog Hans Küng mempromosikan sebuah pemikiran setelah berakhirnya perang dingin bahwa "tidak akan ada perdamaian di antara bangsa-bangsa tanpa perdamaian antara agama-agama". Usahanya membuahkan hasil pada tahun 1993 di "Deklarasi Menuju Etika Global" di Second Parliament of the World’s Religions di Chicago. Dari berbagai diskusi dan gagasan itu saya belajar, jika kita lihat dalam skala kenegaraan, yang harus kita lakukan bukanlah memisahkan agama dari politik, tapi menciptakan perdamaian antar agama dalam berpolitik.

Mari Tanya sejenak pada diri ini untuk apa kita beragama? Tentu untuk memastikan kita mendapatkan keselamatan dunia dan akherat dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya. Apakah mungkin kita menjalankan semua perintah agama dalam ibadah, dalam berbisnis, dalam berhubungan sesama manusia, tapi meninggalkannya dalam urusan politik. Bukankah agama itu sempurna dan menyeluruh bahkan mengatur mulai urusan cara masuk kamar mandi sampai urusan kesejahteraan masyarakat. Semua agama memiliki nilai-nilai kebaikan yang sifatnya universal yang berperan menjaga politik kita dalam kebaikan dan keluhuran.

Menerapkan nilai-nilai keagamaan dalam politik adalah bagian dari keragaman Indonesia, maka hormatilah orang-orang yang menjadikan kehidupan ini sebagai penghambaan kepada Tuhannya dan menjalankan semua aktivitasnya sesuai tuntunan agama, termasuk dalam politiknya. Suatu saat Bangsa ini akan menyadari bahwa mereka adalah orang yang dinanti-nanti.

Akhir kata, untuk Pak Presiden, bapak – bapak pimpinan partai politik, dan tokoh – tokoh politik Bangsa Indonesia semua. Politik bukan hanya soal menang dan kalah, disana ada pahala dan dosa, surga dan neraka, berkah dan musibah.***

__
*Yang belum mengenal: Gamal Albinsaid, Dokter Muda yang Banggakan RI di Pentas Global
http://health.liputan6.com/read/816718/gamal-albinsaid-dokter-muda-yang-banggakan-ri-di-pentas-global


Baca juga :