"Tiko" Perkuat Bom Waktu Kesenjangan Pribumi vs Tionghoa


"Tiko" Perkuat Bom Waktu Kesenjangan Pribumi vs Tionghoa

by Asyari Usman
(Eks jurnalis senior BBC)

Sewaktu baru masuk kelas 1 di salah satu SMA di Medan, tahun 1974 dulu, ada program asimilasi antarsekolah negeri yang dihuni tulen oleh pribumi (saya gunakan istilah ini supaya cepat terjelaskan) dan sekolah-sekolah yang tulen dihuni oleh murid Tionghoa.

Tujuan program ini lebih-kurang adalah untuk membaurkan warga pribumi dan warga Tionghoa. Program itu tidak menghasilkan apa-apa.

Sebagian besar warga Tionghoa di Medan, yang berjumlah sekitar 200 ribu, cenderung hidup eksklusif. Mereka memiliki sekolah sendiri untuk semua jenjang pendidikan.

Tidak terlalu banyak pintu pergaulan antara penduduk pribumi dan warga Tionghoa. Satu-satunya “jendela kecil” yang menghubungkan kedua warga adalah toko-toko dan klinik kesehatan miliki Tionghoa. Pribumi datang sebagai pembeli atau pasien, dan komunikasi hanya terbatas pada urusan bayar-membayar saja.

Kembali ke usaha aimilasi sekolah. Kelihatannya, kedua pihak tidak nyaman. Bisa disebut terpaksa. Upaya lain untuk menjembatani keduanya, boleh dikatakan tidak signifikan. Forum dialog, tidak efektif. Tampak tidak ada titik temu, atau tidak ada alasan untuk bertemu di bawah atap kebersamaan.

Seiring perjalanan waktu, komunitas Tionghoa kelas menengah-atas menyiapkan generasi penerus untuk mempertahankan dominasi perekonomian dan perdagangan. Di lain pihak, warga pribumi –dengan segala kekurangannya— tidak mampu mengambil porsi kecil pun dari posisi itu.

Dinding polarisasi kelas dan etnisitas ini sekarang sangat keras, sudah menjadi tembok. Tidak bisa lagi didobrak. Di dalam tembok, warga Tionghoa semakin percaya diri untuk terus menjauhkan diri dari warga pribumi. Barangkali karena mereka telah memiliki kemampuan untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang bakal muncul dari eksklusivisme yang mereka bangun.

Di luar tembok, berlangsung juga proses pengerasan prasangka. Prasangka bahwa orang Tionghoa bukan orang Indonesia. Prasangka bahwa orang Tionghoa “merampas” hak milik pribumi.

Jarak psikologis pun semakin jauh meskipun keduanya tetap “bersilaturahim” di depan kasir toko warga Tionghoa. Prasangka negatif dan jarak yang menjauh inilah yang sekarang berubah menjadi ramuan bom waktu. Ramuan itu, dari hari ke hari, semakin tanak dan semakin tersenyawakan dengan “ikatan atom” yang kuat. Bom waktu yang sedang dalam proses perampungan.

Sangat, sangat berbahaya!

Bom waktu pernah memercik dalam skala kecil di berbagai peristiwa di tempat yang berbeda-beda. Alhamdulillah, selalu bisa diredam. Mungkin karena kebanyakan orang pribumi tidak begitu suka ribut-ribut.

Tetapi, apakah status quo seperti ini bisa bertahan terus? Inilah yang sangat kita khawatirkan. Sebab, akhir-akhir ini interaksi antara warga di dalam tembok dan di luar tembok mengalami gangguan serius. Sebagian warga di dalam tembok rupanya membangun persepsi bahwa orang pribumi adalah manusia yang berkualitas rendah.

Di mata warga Tionghoa yang mengekslusifkan diri itu, orang pribumi adalah “tiko” –sebutan penghinaan yang sedang trending hari-hari ini. Tidak usah kita jelaskan kehinaan sebutan itu.

Yang jelas, kecerobohan warga Tionghoa yang menggunakan istilah “tiko” untuk menggambarkan kerendahan kelas pribumi, bisa memperkuat ramuan bom waktu, menambah rumit masalah.

Kita berharap agar elit yang wajib memikirkan bahaya bom waktu sosial itu, segara bertindak dan merumuskan langkah-langkah untuk menjinakkan serta kemudian mengempiskan gumpalannya. Kita ajak semua pihak agar membunyikan alarm untuk menyentakkan semua orang supaya ikut mencegah situasi yang semakin memburuk.

Sayangnya, hampir tidak ada langkah konkrit oleh pemerintah dan elit sosial-politik untuk menghentikan proses pematangan bom sosial itu. Bahkan kesenjangan dibiarkan berlanjut, dan ada kesan dipersubur oleh kebijakan pemerintah yang selalu menguntungkan pemilik modal besar –para konglomerat, baik yang putih maupun yang hitam— dan pelaku bisnis menengah atas.

Kita berharap dan mengajak warga Tionghoa yang merasa tidak terwakili oleh para pengguna istilah “tiko”, agar sama-sama berusaha memperdekat jarak antarkomunitas dan mengganti tembok beton eksklusivisme dengan tirai yang lembut dan indah, kalau pun keduanya memang tidak mungkin berasimiliasi secara menyeluruh.***

(Penulis adalah mantan wartawan BBC. Artikel ini merupakan opini pribadi penulis, tidak ada kaitannya dengan BBC)


Baca juga :