Misteri Serangan Air Keras Untuk Novel Baswedan, Seorang Penyidik Kasus Reklamasi Teluk Jakarta


[PORTAL-ISLAM]  Banyak spekulasi berseliweran terkait apa yang menjadi penyebab serangan kepada penyidik senior KPK yang berasal dari korps kepolisian Republik Indonesia, Novel Baswedan.

Sebagian besar mengaitkan penyerangan Novel dengan kasus e-KTP, sebagian lagi mengaitkan dengan kasus gunung es terkait izin ilegal perikanan, dan yang paling akhir adalah mengaitkan kasus ini dengan bisnis online pakaian muslim yang dirintis Rina Emilda, istri Novel.

Dugaan terakhir, terkait bisnis pakaian online dan penyerangan terhadap Novel, dicetuskan oleh Kapolda Metro Jaya, M. Iriawan.

Hampir semua dugaan memiliki motif yang boleh jadi memang ada, tapi boleh jadi juga, terasa diada-adakan.

Dugaan bahwa penyerangan Novel terkait e-KTP, dicetuskan oleh Ketua KPK Agus Rahardjo.

Meski menampik untuk memastikan bahwa motif serangan terhadap Novel adalah karena kasus e-KTP, namun Agus seolah memberi kode saat ditanya wartawan, Selasa 11 April 2017 kemarin.

Adakah kemungkinan aksi terkait penanganan kasus e-KTP yang saat ini ditangani Novel?

"Yang paling besar itu (e-KTP)," kata Agus. (link: https://m.detik.com/news/berita/3471088/teror-ke-novel-terkait-e-ktp-ketua-kpk-yang-paling-besar-itu ).

Secara halus, Agus ingin menekankan bahwa tidak ada kasus yang lebih besar nilai kerugiannya dibandingkan dengan mega skandal e-KTP.

Benarkah demikian?

"100% salah!", cuit Indra Jaya Piliang.
Indra pun memaparkan teorinya secara singkat.



Ada sebuah benang merah yang ingin ditunjukkan Indra. Dengan kicauannya, Indra seolah ingin menegaskan, 'Kasus e-KTP sudah usai, cari kasus lain yang masih dalam proses penyelidikan dan melibatkan kekuatan besar'.

Salah satu kasus 'Grand Corruption' yang masih ditangani KPK adalah kasus Reklamasi Teluk Jakarta.

Diawali dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta bernama Muhammad Sanusi  yang tertangkap tangan menerima uang Rp 2 miliar dari Ariesman Widjaja, yang saat itu menjadi Boss perusahaan properti ternama, PT Agung Podomoro Land. Uang itu disampaikan Ariesman melalui anak buahnya, Trinanda Prihantoro.

Kasus ini sempat mencuri perhatian publik. Apalagi saat itu banyak nama tenar yang muncul ke permukaan yang disebut-sebut terlibat arus pusaran korupsi itu, termasuk Sugianto Kusuma alias Aguan dan Sunny Tanuwidjaja.

Aguan, yang menyandang status sebagai Boss PT Agung Sedayu Group, beberapa kali 'mampir' ke KPK untuk memberikan keterangan terkait hal ini. Anak kandung Aguan, Richard Halim Kusuma, turut pula dicecar berbagai pertanyaan oleh penyidik KPK.

Munculnya nama Sunny Tanuwidjaja juga sempat menyeret Basuki T. Purnama (Ahok), Gubernur DKI Jakarta. Sunny disebut sebagai staf khusus Ahok. Ia yang mengatur janji temu Ahok dengan para pengusaha.
(Link: http://megapolitan.kompas.com/read/2016/04/11/13483331/Sunny.Saya.Mengatur.Pertemuan.Ahok.dengan.Berbagai.Pengusaha )

Sunny pun disebut turut andil membahas dua rancangan peraturan daerah (raperda), yaitu Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSPJ) dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Dua raperda itu menjadi latar belakang penyuapan yang dilakukan Ariesman ke Sanusi.

Berbagai spekulasi muncul ketika KPK meminta surat cegah ke Direktorat Jenderal (Ditjen Imigrasi) agar mencegah Aguan, Richard, dan Sunny bepergian ke luar negeri. Dari pengalaman sebelumnya, orang-orang yang dicegah ke luar negeri oleh KPK berpotensi menjadi tersangka.

Apalagi saat itu pimpinan KPK kerap memberi sinyal bahwa ada tersangka lain dalam kasus tersebut. Pada 1 April, Ketua KPK Agus Rahardjo sampai menegaskan tentang kepastian adanya orang-orang yang berpotensi sebagai tersangka.

"Pasti ada," kata Agus singkat saat itu.

Bahkan, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif saat itu sampai mengatakan kasus tersebut termasuk kategori grand corruption. Syarif pun mengibaratkan kasus itu sebagai gurita dengan banyak tentakel.

"Jadi jangan dilihat dari nilai suapnya yang Rp 1 miliar itu, tapi betul grand corruption karena tentakelnya banyak," kata Syarif.

Publik pun menunggu gertakan pimpinan KPK itu menjadi nyata. Tunggu punya tunggu, pengusutan KPK dalam kasus itu nyatanya melempem.

Di meja hijau, penuntut umum KPK hanya mengajukan tuntutan untuk Ariesman selama 4 tahun penjara. Hingga akhirnya Ariesman hanya divonis hukuman pidana penjara selama 3 tahun. Angka yang dianggap masih jauh dari harapan.

Tak berhenti di situ saja, status cegah yang awalnya disematkan kepada Aguan dan Richard pun tidak diperpanjang. Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan beralasan bahwa kesaksian keduanya dirasa sudah cukup.

"Sesuai dengan pertimbangan dari penyidik, maka pencekalan terhadap Aguan tidak diperpanjang. Kesaksian yang diperlukan dari yang bersangkutan menurut penyidik sudah cukup," kata Basaria Panjaitan, Jumat, 30 September 2016.

Pengusutan kasus yang melempem ini semakin diperparah ketika Ahok kembali mengajukan 2 raperda yang sarat akan 'permainan' itu untuk kembali dibahas di DPRD DKI Jakarta. Meski demikian, KPK memberikan syarat raperda itu akan dilanjutkan.

Bagaimana dengan nasib Sanusi? Adik Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Muhammad Taufik itu masih belum selesai menjalani persidangan. Sanusi dituntut 10 tahun hukuman penjara dan dijerat pula dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Melihat perjalanan kasus tersebut, mungkin bisa disebut drama yang digarap KPK dengan menyebut grand corruption itu berakhir antiklimaks apabila hanya berhenti di Sanusi dan Ariesman. Pengusutan kasus itu pun bisa menjadi pekerjaan rumah KPK pada tahun mendatang. (Link: https://www.detik.com/news/berita/d-3382234/gurita-korupsi-di-reklamasi-teluk-jakarta )

Belum rampungnya Gurita Reklamasi juga ditandai dengan aksi Gerakan Masyarakat Pemburu Koruptor Reklamasi atau Gempar pada Senin, 13 Februari 2017 ke gedung Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan.

Sebelumnya, pada bulan Januari, Gempar datang ke KPK untuk melakukan pelaporan dan demonstrasi guna mengusut tuntas kasus korupsi Teluk Jakarta.

Menurut koordinator lapangan Gempar, Yonpi, KPK bekerja lamban. Bahkan, pihaknya menaruh curiga terhadap KPK, yang diduga akan menghentikan kasus reklamasi hanya sampai Sanusi dan Ariesman Widjaja.

Karena itu, Gempar mendesak KPK agar, pertama KPK segera menuntaskan pengusutan dugaan korupsi reklamasi Teluk Jakarta. kedua, KPK segera menangkap dan mengadili Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Aguan, dan Sunny atas dugaan terlibat dalam kasus korupsi Teluk Jakarta.

Link: ( https://www.tempo.co/read/video/2017/02/14/5926/diduga-terkait-reklamasi-aktivis-ini-tuntut-kpk-tangkap-ahok )

Kasus reklamasi jelas belum usai. Secara hukum, proyek reklamasi jelas tidak berdasar hukum. Demikian cuit seorang aktivis perkotaan sekaligus arsitek kenamaan, Elisa Sutanudjaja.

"Berapa banyak orang gak tahu kalau reklamasi 17 pulau palsu Jakarta itu jalan tanpa produk hukum Raperda, dan bangunan yang ada tanpa IMB?" cuit Elisa.
Pernyataan Elisa dikuatkan oleh JJ Rizal, seorang sejarawan.
Kotornya kasus reklamasi, membuat Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, terpaksa membuka kisah penyerangan terjadap penyidik KPK, Novel Baswedan yang sempat ditabrak oleh orang tak dikenal ketika mulai menangani kasus reklamasi di Teluk Jakarta.

"Apa yang dialami Novel bukan peristiwa pertama kali. Sebelumnya pada saat ramai kasus reklamasi, kemudian beberapa kasus lain, Novel sempat ditabrak oleh beberapa orang tak dikenal," ujar Dahnil di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa 11 April 2017. 

Namun, menurut Dahnil, saat itu Novel tidak ingin menyampaikannya ke publik dan hanya menyampaikannya kepada beberapa temannya saja. Sebab, kata dia, saat itu Novel hanya mengalami luka ringan saja. 

"Jadi teror praktik terorisme terhadap atau orang-orang yang konsisten melakukan pemberantasan korupsi itu masif dilakukan," ucapnya. (Link: http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/17/04/11/oo8t55365-dahnil-novel-juga-pernah-diserang-ketika-kasus-reklamasi-mencuat )

Sementara itu, halaman depan Koran Tempo yang terbit Rabu, 12 Maret 2017 memberi sebuah perspektif menggelitik yang seolah menyatakan keterkaitan Novel dengan pencekalan Setya Novanto.


Namun di sisi lain, fakta tersebut justru bisa pula diterjemahkan sebagai benang merah yang merujuk pada adanya keberpihakan Novel kepada Anies dan Setya Novanto kepada Ahok dalam pilgub DKI Jakarta 2017.

Sebuah catatan yang tak kalah menarik, pemindahan Novel dari Jakarta Eye Center ke Singapura, meski telah dijelaskan alasannya oleh jubir KPK Febri Diansyah, menyisakan sedikit pertanyaan.

Pasalnya, President Director Jakarta Eye Center Corporate Johan A Hutauruk menyatakan, kondisi penglihatan mata penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan sebetulnya sudah membaik.

“Penglihatannya itu dibandingkan malamnya, semakin baik," tutur Johan. "Tadi pagi kita periksa lagi meningkatnya sangat pesat,” kata Johan di RS JEC, Rabu, 12 April 2017.

Johan menjelaskan, bila pada Selasa 11 April 2017 malam kondisi penglihatan mata kanan Novel hanya 10 persen, hari ini peningkatan mencapai tiga kali lipat. Hal serupa juga terjadi pada penglihatan mata kirinya.

(Link: www.solo.tribunnews.com/2017/04/12/soal-kondisi-mata-novel-baswedan-ini-kata-dokter-yang-merawat )

Adanya invisible hand, kekuatan besar yang nyata namun tak teraba, yang begitu ingin merubuhkan Novel, seorang penyidik utama KPK dengan conduite cemerlang, memang sulit diungkap.

Tapi Novel, yang kini kondisinya sudah membaik, tidak akan menyerah dan berhenti.
Baca juga :