Mahfud MD: Kasus Ahok Bukan SARA Tapi Soal Penegakan Hukum dan Keadilan


[PORTAL-ISLAM]  Setelah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjabat Gubernur DKI Jakarta kembali sejak Sabtu, 11 Februari 2017, muncul komentar dari beberapa politisi untuk "menurunkan" nya dengan Hak Angket di DPR.

Ada pula upaya tuntutan hukum kepada Presiden Jokowi karena dianggap tidak adil karena tidak mencopot Ahok dari jabatan Gubernur meskipun telah jadi terdakwa di pengadilan.

Tribunnews.com berusaha mewawancarai mengenai Ahok kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008-2011, Prof Dr Mohammad Mahfud MD.

Mengapa Ahok tidak diturunkan walaupun telah jadi terdakwa di pengadilan?

"Saya ikut bicara soal Ahok hanya dalam kaitan penegakan hukum dan keadilan dan sama sekali tak ada kaitannya dengan SARA. Saya sebenarnya agak malas bicara soal jabatan Ahok karena kalau menyorot Ahok sering dikait-kaitkan dengan isu kampungan "rasis". Padahal saya sama sekali tak ada urusan dengan agama atau etnis."

Lalu Pak Mahfud mau bicara soal apa?

"Saya murni berbicara soal hukum dan keadilan. Tuduhan rasis stau anti perbedaan ini juga mulai menjadi penyakit di kalangan aktivis-aktivis kita yakni tak berani berbicara benar kalau menyakut Ahok, karena takut dituding rasis atau anti pluralisme. Banyak yang kemudian menjadi tak obyektif dan tak mau bicara benar."

Ada pertanyaan dari media mengenai Ahok?

"Benar, di media ada yang bertanya, mengapa Pak Mahfud tegas berbicara jabatan Ahok, tapi diam saja dalam soal-soal lain. Tudingan ini kan keterlaluan. Rekaman media dan jejak digital jelas saya berbicara dalam semua masalah hukum. Mulai dari soal hate speech, Fatwa MUI yang tak mengikat, OTT (Operasi Tangkap Tangan), makar, narkoba, terorisme, dan semua hal yang menyangkut penegakan hukum dan keadilan."

Ada pembicaraan lainnya pak?

"Saya juga berbicara keras dan mendorong dilakukannya tindakan hukum ketika Rizieq dan Dhani melecehkan Presiden kita dengan kata-kata kasar."

Lalu dampaknya bagi negara bagaimana pak?

"Menurut saya negara ini bisa hancur bukan karena sensitivitas dalam perbedaan agama dan ras tetapi karena ketidakadilan dan tidak tegaknya hukum serta kesenjangan ekonomi yang menggila. Lagi pula saya ini tak pernah menonjol-nonjolkan diri memulai berbicara ke publik kalau tak ditanya. Karena ditanya oleh wartawan lah saya ngomong."

Apa sempat diburu wartawan?

"Iya. Kerap kali wartawan memburu saya sampai ke rumah di Yogya dengan telekamera. Kalau telepon saya off wartawan menelepon ke sekretaris saya atau ke istri saya untuk disambungkan ke saya. Secara umum saya berusaha agar tidak ditanya atau agar tak dimintai komentar karena sudah banyak pakar dan aktivis yang berkomentar. Tetapi saya diburu terus dan dicegat dimana-mana. Masa, saya tak menjawab?"

Bapak kan juga dosen, ada instink tertentu?

"Benar, saya ini dosen, punya instink untuk menjelaskan dan pantang menolak untuk menjawab jika ditanya. Dan kalau sudah menjawab saya harus tegas dalam memposisikan soal hukum dan keadilan."

Jadi tegasnya bagaimana mengenai Ahok pak?

"Apabila mau bicara tegas, sudah jelas tak ada soal SARA dalam sorotan atas pengaktifan kembali Ahok sebagai Gubernur Jakarta ini."

Bagaimana dengan komentar bapak terhadap kasus yang lain?

"Saya juga bicara keras soal Irman Gusman, Patrialis Akbar, Zainuddin Musa, Luthfi Hasan dan lain-lain yang semua seagama dan serumpun ras dengan saya. Tak ada urusan ras atau agama dalam masalah Ahok ini."

Lalu bagaimana soal kebersatuan berbangsa dan bernegara saat ini?

"Bagi saya saat ini sudah tak ada lagi masalah soal kebersatuan kita dalam hidup berbangsa dan bernegara. Tak ada masalah perbedaan agama dan ras atau etnis. Kita hanya punya masalah ketidakadilan, tidak tegaknya hukum, dan kesenjangan".

"Kalau soal kebhinekaan dan Pancasila di Indonesia sudahlah kokoh. Tak ada kekuatan apa pun yang bisa mengalahkan kesepakatan kita untuk berideologi Pancasila. Baik melalui gerakan bersenjata seperti DI/TII, RMS, Permesta maupun melalui gerakan konstitusional seperti Pemilu dan sidang-sidang resmi di Konstituante dan MPR tak ada yang bisa menggantikan kesepakatan kita menjadikan Pancasila sebagai dasar ideologi negara. Jadi mari kita jaga negara kita dengan penegakan hukum dan keadilan."

Sumber: Tribun
Baca juga :