Menolak Gubernur Multikepribadian Untuk Jakarta


[PORTAL-ISLAM]  Kemarin kita telah menulis dan membahas tentang bahayanya memilih calon pemimpin berwatak pemburu jabatan. Watak pemburu jabatan itu akan membuat seseorang berubah-ubah, tidak malu menjilat ludah sendiri bahkan menelan kembali muntahan dari mulut sendiri. Ditambah sikap loncat-loncat politik demi ekspektasi pribadi yang secara etika tidak patut meski sah saja secara politik. Tapi moral politiknya patut diragukan karena tidak memiliki loyalitas sama sekali. Bagaimana calon pemimpin tersebut akan loyal kepada kepentingan rakyat jika tidak mampu menunjukkan loyalitas pada sikap diri sendiri? Itulah Anies Baswedan yang kita bahas kemarin.

Hari ini kita membahas tentang bahayanya seorang pemimpin yang bukan cuma berkepribadian ganda, namun multi kepribadian. Seseorang yang multi kepribadian ini akan mampu mengolah kata-kata secara heroik untuk membohongi publik dari fakta kebenaran demi kepentingan politik pribadi dalam mengejar dan memburu kekuasaan. Publik mungkin pernah melihat sebuah meme dimana seekor ulang sedang menggigit seekor ikan dengan tulisan heroik bahwa seekor ular dengan gagah menyelamatkan ikan yang tenggelam. Itulah contoh konkret seseorang yang multi kepribadian dengan kemampuan intelektualitasnya mengolah kata-kata untuk membodohi dan menutupi fakta kebenaran.

Cobalah kita simak dan cermati pernyataan Ahok pada saat debat pertama Pilkada DKI menanggapi penggusuran yang dilakukan oleh Pemda DKI dibawah rejim Ahok. Dengan gagah, Ahok menyatakan bahwa penggusuran itu dilakukan untuk memindahkan warga dari pemukiman kumuh ke tempat yang lebih baik dan manusiawi. Pertanyaannya, mengapa Ahok memaksa warga itu pindah dengan cara tidak manusiawi? Bukan menurut Ahok tujuannya untuk tujuan manusiawi? Adalah sesuatu yang sangat tidak mungkin memanusiakan manusia dengan cara tidak manusiawi. Dan yang dilakukan Ahok itu sama dengan cerita meme diatas seekor ular menyelamatkan ikan yang tenggelam. Retorika yang menipu logika warga.

Pernyataan Ahok juga yang menyatakan bahwa yang digusur hanyalah pemukiman kumuh yang dibantaran kali adalah sebuah kegagalan Ahok mengingat yang dia lakukan sendiri. Saya tidak tahu apakah Ahok benar-benar lupa atau hanya pura-pura lupa tentang lokasi-lokasi yang digusurnya. Ketidak tahuan saya tersebut akhirnya bisa menerima karena memang seseorang yang multi kepribadian mampu berbohong dengan raut wajah merasa benar. Saya tidak ingin menuliskan disini lokasi mana yang sudah digusur Ahok yang bukan dibantaran kali dan beberapa daerah lagi yang masih akan digusur.

Tahun lalu pernah beredar daftar wilayah yang masuk rencana penggusuran Ahok, ratusan wilayah dan bukan hanya bantaran kali. Rakyat Jakarta harus mengetahui ini dan harus menolak pemimpin yang tukang gusur. Alasan memanusiakan manusia itu adalah sebuah kebohongan karena dilakukan dengan cara yang tidak manusiawi. Menata kota tidak harus dengan menggusur, karena kota ini adalah untuk tempat manusia hidup, bukan untuk tempat beton-beton dibangun dan mengusir manusia terutama kelompok marginal. Ahok sepertinya lebih mementingkan membangun beton demi kota daripada membangun manusia dengan cara manusiawi.

Multi kepribadian juga bisa kita lihat ketika seseorang yang sehari-harinya bertutur kata kasar, kotor dan tidak patut serta gemar bermusuhan dengan orang lain, tapi tiba-tiba demi kepentingan mengejar kekuasaan mampu mempertontonkan sikap seperti seorang yang santun dan ramah.

Coba simak kalimat Ahok saat debat pilkada Jumat lalu, Ahok menyatakan pemimpin itu harus juga santun. Lupakah Ahok ketika disebuah stasiun TV berucap kata kotor (maaf) "taik" hingga berulang-ulang? Lupakah Ahok pernah memaki dengan kata "ibu maling" kepada seorang ibu? Sudah tidak ingatkah Ahok bahkan pernah beradu mulut dengan seorang warga? Lupakah Ahok pernah menyatakan ajaran Kristen itu konyol? Tidak ingat lagikah Ahok pernah menyatakan dibohongi pakai Almaidah 51? Dan lebih parah, Ahok sepertinya lupa kalau dia sedang menyandang gelar terdakwa.

Semua deretan panjang lupa diatas adalah identik dengan sebuah ketidak santunan. Tapi kenapa Ahok bisa berkata dengan mimik seperti orang baik bahwa pemimpin juga harus santun? Santunkah Ahok? Menurut saya tidak dengan sederet kata kotor dan caci makinya. Kalimat ibu maling itu mestinya mampu menyadarkan semua ibu di Jakarta untuk tidak memilih pencaci ibu. Sebab bila Ahok bisa mencaci seorang ibu dengan kata maling, maka Ahok juga mampu melakukan itu kepada ibu-ibu yang lain. Adakah ibu yang mau dicaci? Silahkan pilih Ahok jika siap mendapat caci maki.

Masih banyak hal-hal negatif lain yang sesungguhnya menempatkan Ahok tidak layak dijadikan pemimpin. Ahok sering mengaku sebagai orang yang bersih. Namun pengakuan itu tidak berbanding lurus dengan fakta yang beredar. Pembelian sebagian lahan RS Sumber Waras yang atas audit BPK menyatakan terdapat kerugian negara senilai ratusan milliar rupiah atas transaksi tersebut adalah fakta nyata sebuah dugaan korupsi atau minimal sebuah fakta tentang perbuatan kolusi yang berujung pada dugaan korupsi. Ahok patut diduga telah merugikan keuangan negara sebagaimana hasil audit BPK. Bersihkah Ahok? Silahkan jawab sendiri.

Fakta RS Sumber Waras diatas kemudian seolah-olah tidak pernah terjadi ketika Ahok menanggapi program AHY tentang dana pembangunan 1 M setiap RW dengan pernyataan dan pertanyaan yang seolah dana tersebut akan rentan dikorupsi dan membuat RT RW masuk penjara. Sepertinya Ahok sedang bercermin pada dirinya hingga RT RW itu dicurigai oleh Ahok akan mengkorupsi dana RW tersebut.

Tulisan ini akan terlalu panjang jika semua fakta tentang Ahok kita sampaikan disini, dan mungkin akan membuat orang malas membacanya. Tapi bagi saya kesimpulan sudah harus tertanam dipikiran dan hati rakyat bahwa sangatlah berbahaya memilih calon pemimpin yang multi kepribadian dan jago berpura-pura. Selamatkan Jakarta dari penggusuran manusia, karena Jakarta untuk rakyat.

Penulis: Ferdinand Hutahaean
Eks Relawan Jokowi
Baca juga :